Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya ingin bercerita tentang Nicolae Ceaușescu. Presiden Rumania sejak 1970-an ini dilukiskan para pemujanya seorang yang sederhana dan meniti karir dari bawah. Bahkan, foto Nicolae dan istrinya, Elena Ceaușescu selalu ditampilkan saat berusia 40-an. Muda dan ceria.
Malah produser televisi, harus hati-hati meletakkan posisi kamera sehingga menutupi fakta bahwa tinggi badan Nicolae hanya 165 cm. “Hidung jambu” Elena pun dihindari dengan tak membidikkan kamera dari depan.
Demikianlah, kultus individu atau pemujaan kepribadian menyelimuti Nicolae. Syahdan, dia pernah berkunjung ke Republik Rakyat Tiongkok dan Korea Utara pada 1971. Dia kagum dengan cara Mao Zedong dan Kim Jong Il memoles citra diri mereka melalui kultus individu.
Tak ayal, Nocolae dipuja-puji melalui puisi dan lagu para seniman. Media menggambarkannya sebagai teoritikus jenius komunis. Juga sebagai pemimpin politik dengan "pemikiran' yang menjadi sumber semua pencapaian nasional.
Memang, kultus individu dalam sejarah selalu digunakan oleh para pendukung seorang tokoh untuk melanggengkan atau malah untuk merebut kekuasaan.
Tapi menyesal sekali, revolusi Rumania pada akhir Desember 1989 telah mengobarkan huru-hara selama seminggu. Rezim komunis Nicolae tumbang. Dia dan istrinya bahkan dieksekusi.
Saya teringat buku berjudul "Bad History, How We Got the Past Wrong" yang ditulis Emma Marriott pada Oktober 2017. Buku itu menyinggung adanya tokoh yang berlumuran kultus individu.
Contohnya, adalah Otto von Bismarck, bapak Jerman modern yang dikenang sebagai pahlawan. Dia diangap sebagai pemersatu bangsa Jerman yang seakan hidup tanpa cela.
Namun setelah Bismarck mengundurkan diri pada 1890 dan meninggal delapan tahun kemudian, kelompok konservatif dan liberal menuduhnya sebagai tokoh politik kejam yang menjalankan politik “besi dan darah.”
Kultus individu memang menjadi alat ampuh untuk melegitimasi kekuasaan atau sebaliknya. Di Indonesia, orde baru pun mengukuhkan kedudukan Soeharto sebagai “bapak pembangunan.” Tapi kemudian lengser pada 1998.
Tentu saja selalu penuh dengan prokontra. Sejarah memang adalah argumentasi yang tak pernah berakhir. Selalu ada multitafsir.
Tapi saya kira mendukung seorang tokoh demokratis belaka. Namun jangan sampai jatuh ke nilai kultus individu. Manusia tidak ada yang sempurna, lho?