Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Siapa pula itu, Plato? Kok, berani-beraninya berpesan (kepada kita)? Aduhai, maaf pembaca. Bukan dia yang berpesan. Saya hanya merasa pendapat dia bisa juga menjadi “pesan” untuk kita, khususnya menjelang Pilpres dan Pileg 2019 pada 17 April mendatang.
Dia, tentu bukan warga Kampung Lalang di batas Kota Medan. Dia adalah seorang filsuf dan matematika Yunani yang hidup pada (427 SM-347 SM). Dia penulis philosophical dialogues dan pendiri Akademi Platonik di Athena, sekolah tingkat tinggi pertama di dunia barat. Dia adalah murid Socrates. Tapi dia adalah guru dari Aristoteles.
Nah, Plato dalam bukunya “Republik” menolak demokrasi jika menelorkan pemimpin yang tidak kompoten. Dia terpilih hanya karena meraih “suara terbanyak” dalam suatu pemilihan atas nama demokrasi.
Intinya, Plato mensyaratkan pendidikan yang berkualitas bagi mayoritas rakyat. Tanpa itu, hanya akan melukai demokrasi. Jika pendidikan para pemilih yang menjadi syarat penting demokrasi kurang berkualitas, maka demokrasi menjadi matematis, sekadar dimenangkan oleh “suara terbanyak.”
Tentu saja, terminologi pendidikan politik tak sesempit pengertian pendidikan formal. Seseorang boleh hanya lulusan SD atau SMP, tapi kesadaran politiknya idealis. Berijazah sarjana, tapi buat apa jika berperilaku pragmatis.
Tanpa kesadaran politik, masyarakat hanya menjadi objek perebutan suara, dan lalu dilupakan. Misalnya, dia memilih seorang calon, hanya karena “terpukau” pada kampanye si calon. Bukan pada gagasan yang cemerlang dan track record yang gemilang.
Akibatnya, terpilihlah pemimpin yang semata-mata hanya ingin merebut kekuasaan. Sebaliknya, jika pemilih memiliki pendidikan politik yang baik, maka dia akan selektif dalam memilih pemimpin.
Dia pun memahami demokrasi bertalian erat dengan harga sembako yang stabil, atau mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak. Juga bagaimana pemimpin menetapkan kebijakan publik yang adil.
Namun, apabila isu hoax, atau janji-janji muluk-muluk di lidah tak bertulang masih primadona, jelas menunjukkan pendidikan politik yang mengibakan. Jika masih merindukan money politics, pertanda kesadaran politik yang rendah.
Padahal, pemilihan yang demokratis itu penting. Tak hanya menciptakan suksesi pemimpin secara damai. Juga menghormati hak-hak dan kebebasan rakyat. Lalu, bertolak menuju cita-cita kolektif, keadilan sosial.
Demokrasi itu infrastruktur pembangunan juga. Harus setara dengan pembangunan jalan tol, irigasi, destinasi pariwisata dan sektor kelistrikan.
Apalagi jika nasib rakyat tak berubah setelah Pemilu, akan membuat masyarakat jemu kepada praktek demokrasi yang salah kaprah. Jangan sampai kekuasaan semata direbut suara terbanyak, tapi mengabaikan kepentingan orang banyak
Bagaimana, pembaca! Cocok kamu rasa? Jangan curiga dong kepada saya. Percayalah, saya bukan timses salah satu pasangan calon Capres-Cawapres. Bukan pula timses sebuah partai politik. Permisi!