Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Wilayah garis keras, apa pula itu? Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengklarifikasi bahwa ada beberapa daerah yang dulunya pernah melakukan pemberontakan. “Saya katakan dulunya ada DI/TII Kartosuwiryo di Jabar, dulu PRRI di Sumbar, dulu GAM di Aceh, dulu DI/TII Kahar Muzakkar di Sulsel,” kata Mahfud seperti dikutip Suara.com, Senin (29/4/2019), dari akun twitter miliknya @mohmahfudmd.
Latar belakang pemberontakan keagamaan itulah yang diyakini oleh Mahfud MD menjadikan wilayah itu sebagai garis keras dalam keagamaan.
Sebelumnya, dalam sebuah wawancara di televisi, Mahfud MD menyebutkan bahwa di empat provinsi itulah, Calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menang perolehan suara di Pilpres 2019.
Tapi paradoksnya Mahfud MD menjelaskan, kini wilayah-wilayah tersebut telah menyatu. Begitupun, ia mengusulkan agar Presiden Joko Widodo melakukan rekonsiliasi untuk merangkul mereka. Maksudnya, agar pembelahan di masyarakat tidak kian kental.
Eh, pembawa acara Indonesia lawyers Club (ILC), Karni Ilyas mengatakan bahwa PRRI/Permesta bukan pemberontakan dengan ideologi agama. Motifnya adalah karena mereka menilai pemerintah pusat tidak adil dalam alokasi dana pembangunan.
Bahkan, alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh masyarakat Aceh atas dileburnya Provinsi Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara. Daud Beureueh kemudian memproklamasikan Aceh pada 1953 sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) di bawah kepemimpinan Imam Besar NII Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Adapun GAM yang diproklamasikan oleh Hasan Tiro pada 1976, selain melanjutkan perjuangan DI TII Aceh juga karena ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional.
Meningkatnya produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai USD 1,3 miliar tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh. (Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki, Bandar Publishing, 2008).
Saya telisik dari berbagai sumber ternyata dalam Pemilu 1955 di Sumatera Barat, yang masih berada dalam Provinsi Sumatera Tengah bersama Riau dan Jambi yang unggul memang Masyumi dan Perti. Tapi di tempat ketiga justru diraih oleh PKI.
Tapi semenjak orde baru, dari Pemilu 1971 hingga 1997, justru Golkar lah peraih suara terbayak – bukan PPP sebagai parpol Islam -- telepas persoalan akuntabilitas pelaksanaan Pemilu.
Bahkan PPP berhasil dikalahkan Golkar pada Pemilu 1987 di Aceh, meskipun pada Pemilu 1977 dan 1982, PPP menang di Aceh. Bahkan juga di Jakarta pada Pemilu 1977, tapi Golkar mengalahkan PPP di Jakarta pada Pemilu 1982. Usai itu, era kejayaan PPP sebagai partai Islam pun pudar.
Lagi-lagi, dalam pemilu pertama pascareformasi pada 1999 dan 2004, Golkar masih meraih suara terbanyak di Sumatera Barat, meskipun saat pemilihan presiden bukan Wiranto-Solahudin Wahid yang diusung Partai Golkar yang menang. Justru pasangan Amien Rais-Siswono Yudhohusodo yang diusung PAN dan PKS yang meraih suara terbanyak di Sumatera Barat. Namun secara nasional, yang menang adalah duet SBY-Jusuf Kalla.
Namun pada Pemilu 2009, SBY lagi-lagi menang di 4 provinsi yang disebut Mahfud sebagai wilayah garis keras. SBY yang rasanya tak mewakili Islam garis keras itu hanya kalah di 3 provinsi.
Bahkan, Partai Demokrat juga memenangkan Pemilu Legislatif 2009 di Sumatera Barat, yang justru bukan partai Islam. Sementara pada Pemilu 2014, justru Golkar yang menang di Tanah Minang ini.
Partai Golkar kembali jadi pemenang Pemilu legislatif di Sumbar pada 9 April 2014 disusul Partai Gerindra dan PAN dengan selisih tipis. Barangkali, itu sebabnya pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menang telak dengan perolehan 76,92% pada 2014 karena didukung PAN dan Gerindra. Meski secara nasional Pilpres dimenangkan oleh Joko Widodo-Jusuf Kalla dengan raihan 53,19%.
Dari historiografi selayang pandang ini, rasanya provinsi yang disebut wilayah garis keras itu tak selalu berseberangan dengan rezim berkuasa serta parpol pendukungnya. Saya kira ada faktor lain, yang menentukan sebuah parpol, atau Capres menang atau kalah di sebuah wilayah. Tak sekadar karena faktor wilayah garis keras. He-he, kita bahas lain kali saja!