Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tiket pesawat? Tinggi tinggi sekali! Akibatnya, tak hanya jumlah penumpang merosot, tapi okupasi hotel juga tergerus. Berimbas juga ke sektor pariwisata dengan menurunnya kunjungan turis. Tak sedikit pula biro perjalanan yang bangkrut.
Melihat efek domino yang muram itu, pemerintah pun akan menurunkan batas atas tiket pesawat hingga 15%, dan akan difinalisasi pada Senin, 13 Mei 2019. Begitulah, hasil rapat koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian, Jumat (10/5) lalu.
Menhub Budi Karya berharap akan mendorong seluruh maskapai menurunkan harga. Mungkin, mula-mula penerbangan kelas full service seperti Garuda Indonesia akan menurunkannya, dan kemudian diikuti oleh kelas penerbangan di bawahnya.
Namun para pengamat menilai turunnya terlalu sedikit. Bahkan jika diharapkan harga akan terjangkau oleh masyarakat, sebenarnya masih terbilang mahal.
Eh, penurunan tarif ini dianggap merupakan langkah politis karena pemerintah menuruti permintaan masyarakat. Padahal dari segi bisnis masih merugikan maskapai penerbangan.
Apalagi menjelang Lebaran sebetulnya merupakan momen penting bagi maskapai untuk menaikkan harga karena permintaan yang banyak. Tapi, pemerintah justru beralasan karena menjelang Lebaran lah, tarif dipangkas.
Uniknya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menyebut, maskapai pelat merah siap mengikuti ketentuan pemangkasan tarif batas atas itu. “Kita ikut regulator saja,” katanya di Jakarta, Jumat (10/5) lalu.
Yang menarik, sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta masyarakat memilih moda transportasi alternatif. "Selama ini memang tiket pesawat sangat murah dibanding seharusnya," kata JK di Jakarta, Selasa, 7 Mei lalu.
Dia bertutur bahwa dalam waktu 20 tahun terakhir kurang lebih sudah 10 perusahaan penerbangan di Indonesia yang tumbang. Semua diduga tidak kuat bertahan akibat perang tarif harga tiket pesawat murah.
Apalagi sebagian besar pembiayaan dalam bisnis penerbangan menggunakan komponen mata uang dolar. Tercatat sekitar 70% menggunakan mata uang Amerika Serikat. Padahal, pendapatan berasal dari mata uang rupiah.
JK bercerita bahwa pada 1970-an, dia terbang ke Makassar dengan harga tiket Rp1,5 juta ketika 1 USD setara Rp 2.500. “Sekarang dolar sekitar enam kali lipat, harga tiket masih sekitar Rp1,5 juta juga," JK mengenang.
Menurut Wapres, industri penerbangan pasti sangat ingin harga tiket tidak naik. Sebab kenaikan harga akan menekan kemampuan penumpang membeli tiket pesawat dan beralih ke angkutan alternatif baik mobil pribadi, kereta api hingga kapal laut.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun meminta pemerintah agar tidak terlalu intervensi terhadap harga tiket pesawat. Komisioner KPPU, Guntur Saragih berpendapat bahwa pasar lebih punya wewenang untuk menentukan ketentuan tarif. “Pemerintah agar tak terlalu banyak campur tangan,” katanya di Jakarta, Selasa (23/4) lalu.
Tapi pemerintah tampaknya lebih mendengar keluhan masyarakat. Saya kira ada masanya kalkulasi bisnis keok oleh faktor politik. Ada yang dibela, ada yang diminta harus berkorban!