Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ada yang menilainya cara usang. Ada yang menganggapnya menghalangi demokrasi dan kebebasan berpendapat. Reaksi itulah yang terdengar setelah Menkopolhukam Wiranto mengumumkan akan membentuk sebuah tim hukum nasional yang bertugas mengkaji ucapan hingga tindakan dari tokoh-tokoh di negeri ini yang dianggap melanggar hukum.
Wiranto menuturkan pembentukan tim hukum itu di Kantor Menkopolhukam, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (5/6).
"Tim ini lengkap, dari pakar hukum tata negara, para profesor, doktor berbagai universitas. Sudah saya undang, sudah saya bicara," ucap Wiranto. Mereka nantinya bertugas mengusut potensi pelanggaran hukum yang mungkin terjadi.
Wiranto mengatakan negara tak bisa mentoleransi umpatan hingga makian terhadap pemerintahan yang sah. Ia menuturkan akan memberikan sanksi tegas kepada siapa pun yang melanggar hukum.
"Kita lakukan semata-mata untuk menegakkan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ini milik kita bersama, harus kita jaga,” tegas Wiranto.
Tak ayal, Cawapres Sandiaga Uno pada Selasa (7/5) lalu menganggap pembentukan tim itu sebagai “kurang kerjaan.” Dia berpandangan, membentuk tim pengawas omongan para tokoh merupakan cara zaman dulu. "Biar saja, tokoh bicara, kan sudah ada koridornya, sudah ada undang-undang ITE, ada UU yang berlaku di masyarakat," jelasnya di Jakarta.
Apalagi UUD 1945 pun menjamin hak setiap warga negara menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tulisan. Tak heran jika ada yang menilai bahwa pembentukan tim hukum nasional itu sebagai bentuk kemunduran demokrasi. Terlebih-lebih negara pun sudah memiliki aparat penegak hukum.
Tapi tak bisa dipungkiri bahwa jagad media kita memang ramai dengan berita “panas” yang di antaranya dikenal sebagi hoaks alias berita palsu, yang boleh jadi demi kepentingan politik tertentu.
Bahkan walaupun pencoblosan dalam rangka Pilpres dan Pileg 2019 sudah usai sejak 17 April 2019 lalu, tapi isu-isu panas masih tetap beredar.
Di satu pihak, yang diperkirakan kalah, setidaknya oleh cuiq count berbagai lembaga survei maupun dari hasil real count oleh KPU yang meski belum final, masih menyoal hasilnya. Bahkan dibarengi dengan isu kecurangan Pemilu.
Semakin riuh karena pihak yang diduga menang juga ikut menanggapinya. Bahkan semakin ramai karena pejabat pemerintah juga mulai unjuk gigi. Antara lain dengan rencana akan membentuk tim hukum nasional tersebut.
Memang, peredaran berita hoaks dan komentar yang menghasut tanpa argumentasi dan bukti yang kuat dapat menggiring opini masyarakat. Berpengaruh sangat besar terhadap pandangan masyarakat atas situasi yang terjadi. Jika berlarut dapat menyebabkan keresahan. Buntutnya adalah konflik yang berkepanjangan.
Untunglah, tim itu bukan badan hukum baru yang menggantikan lembaga hukum lain seperti kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi. Tapi hanya tim asistensi di Kemenkopolhukam. Hasil kajian ini akan diteruskan kepada polisi, termasuk memberikan masukan terhadap langkah hukum yang diambil polisi.
Begitupun, janganlah sampai mengancam kebebasan berekspresi. Apalagi jika bias- mudah-mudahan tidak-dengan kepentingan pemerintah yang berkuasa. Apalagi dijelaskan bahwa pembentukan tim tersebut tidak dimaksudkan untuk membungkam kritik seperti era orde baru.
Saya kira para tokoh dan elit politik harus menghindari kometar dan tindakan yang berpotensi memecah belah kesatuan bangsa. Seraya itu, berilah kesempatan kepada penegak hukum untuk bertindak sesuai koridor hukum. Bak kata pepatah, tangan mencencang bahu memikul.
Namun siapa pun tetap harus menjaga martabat negara demokrasi yang konstitusional. Termasuk harus menghormati Indonesia sebagai negara hukum.