Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Jika neraca perdagangan kita diibaratkan sebuah restoran, maka konsumen yang datang untuk makan hanya sedikit. Padahal pengeluaran untuk belanja modal bahan makanan cukup besar. Bila terus berkepanjangan, aduhai, ada harapan restoran itu akan bangkrut.
Defisit neraca perdagangan kita pun kira-kira senasib dengan ilustrasi tentang restoran tersebut. Sepanjang April 2019, ekspor kita tercatat hanya US$ 12,6 miliar. Sedangkan impor mencapai US$ 15,10 miliar. Defisit hingga US$ 2,5 miliar. Tak kepalang, setara sekitar Rp 35 triliun. Kalau setahun, wah, cukup gede, ya?
Syahdan, angka ini merupakan yang paling dalam sepanjang sejarah RI. Padahal, neraca perdagangan barang berkorelasi erat dengan neraca transaksi berjalan (current account).
Adapun transaksi berjalan adalah neraca arus uang yang keluar masuk melalui sektor riil. Misalnya, jika diinvestasikan ke pabrik pengolahan, maka uangnya akan mengalir di masyarakat. Ada untuk membayar upah buruh, membayar pajak dan membeli bahan baku dari produsen lokal.
Beda dengan perdagangan di bidang saham, yang tempo sekejab para investor bisa menarik uangnya keluar dari Indonesia. Tergantung kurs rupiah. Jika melemah godaan dolar pun lebih menggiurkan.
Jika neraca transaksi berjalan mengalami defisit (current account deficit/CAD), maka cukup banyak uang yang terbang dari negeri ini daripada yang masuk.
Seperti ditulis oleh CNBC Indonesia, 15 Mei lalu, akibatnya, mata uang kita, rupiah, melemah dibanding US$. Syahdan, pada awal 2011, kurs rupiah masih di sekitar Rp 9.000/US$. Tapi pada Rabu (15/5) lalu sudah mencapai Rp 14.455. Pelemahan yang dahsyat.
Eh, kini neraca perdagangan mengalami defisit. Tak ayal, transaksi berjalan pun kian memberat. Masih menurut CNBC Indonesia, defisit neraca perdagangan mencapai US$ 8,7 miliar pada 2018, CAD-nya sebesar US$ 31,05 miliar. Wah, kini baru pada kuartal I-2019 saja, CAD sudah US$ 6,9 miliar.
Semoga saja CAD pada 2019 in bisa diperkecil. Seba jika tidak maka pelemahan rupiah tak terelakkan.
Semestinya pelemahan rupiah atau penguatan dolar akan memacu ekspor. Tapi, sayang, harga komoditas di pasar internasional lagi tidak bersahabat sehingga gejala defisit neraca perdagangan pun terus mengancam. Apalagi ada dampak dari perang dagang antara China dan Amerika Serikat.
Tentu saja, ada eksportir yang menuai untung. Sebab, harga barang semakin murah karena dibayar dengan dolar. Tapi ini hanya dinikmati oleh eksportir yang bahan bakunya didominasi bahan lokal. Jika bahan bakunya pun diimpor, harganya terpaksa harus dinaikkan sehingga tidak bersaing. Syukur-syukur bisa untung tipis jika tidak malah merugi.
Tapi sebaliknya, ketika harga produk impor menaik akan mendorong konsumen membeli produk lokal. Misalnya, orang cenderung membeli buah lokal. Namun jika buah impor lebih enak dengan kemasan yang menawan, konsumen tetap terbujuk membelinya. Kalah di harga tapi menang di rasa.
Bisa juga akan membuat warga menunda untuk berbelanja dan lalu memilih menyimpan dananya di perbankan. Padahal sektor konsumsi sangat dominan dalam pertumbuhan ekonomi.
Mudah-mudahan, ke depan ibarat “restoran” yang kita ilustrasikan, semakin banyak konsumen yang mampir untuk makan. Semoga angkanya melampaui belanja modal, dan neraca restoran itu pun surplus alias menuai untung.
Jika makanan di restoran harus lebih enak, sehat dan pelayanan yang bagus, maka produk ekspor pun harus lebih bermutu, dan lebih murah dibanding produk sejenis dari negara lain. Kemasannya menawan, serta bebas dari isu lingkungan yang negatif.