Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Politik tak pernah “mati.” Meskipun Mahkamah Konstitusi telah menolak gugatan kubu 02 terhadap hasil perhitungan suara Pilpres pada 17 April 2019. Artinya, walaupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah dikalahkan duet Jokowi-Ma’ruf Amin, tak berarti politik telah rest in peace (RIP).
Politik masih segar bugar. Terbukti banyak wacana yang berseliweran, tentang kemungkinan ada parpol dari kubu O2 akan merapat ke koalisi Jokowi-Ma’ruf. Ramai disebut PAN dan Demokrat akan merapat ke kubu Jokowi-Ma’ruf.
He-he, bahkan ada isu yang menyebut Gerindara pun akan merapat ke kubu sang pemenang Pilpres. Meskipun hal itu sudah dibantah oleh kubu 02, namun membuat isu ini semakin sexy untuk dibincangjan.
Terlepas hal itu adalah hak PAN Demokrat dan Gerindra, tapi saya kira jika isu itu menjadi kenyataan, akan membuat koalisi Jokowi-Ma’ruf mengalami obesitas. Kegemukan sehingga tidak lincah dalam bergerak memperjuangkan hak-hak rakyat.
Angapan bahwa jika semua kekuatan politik mendukung pemerintahan, akan membuat jalannya pemerintahan dan pembanguanan akan mulus, adalah pandangan yang salah kaprah.
Mereka yang rikuh, risih dan miris terhadap “kubu oposisi” barangkali, salah memaknai istilah kultural yang bernama harmonis, dan tak saling “serang.”
Mungkin, karena negeri ini indah molek dengan gunung-gunung membiru dan sawah menguning. Ada ombak berdebur di tepi pantai, dan rayuan pulau kelapa yang bernyanyi sesamanya. Jadi tak eloklah berbeda pandangan.
Dalam politik malah berbahaya jika sampai hubungan antarpartai, maupun antara eksekutif dan legislative sangat harmonis. Ini benih-benih dari KKN dan oligarki yang justru sangat berbahaya. Bisa-bisa terjadi konspirasi, bahkan korupsi berjamaah karena sudah saling kompak.
Pemeritahan tak cukup dipercayakan kepada niat haik pemimpin semata. Mestilah diatur secara terstruktur dan sistemik.
Hubungan politik sudah semestinya diwujudkan dalam check and balances yang kritis tetapi sehat. Bukan malah harmonis. Jika antarparpol berani “saling serang” justru pertanda kedewasan berpolitik dalam menciptakan demokrasi yang tulen dan mencerdaskan.
Politik bukan sejenis pertemuan dalam arisan kaum ibu. Jika ada parpol yang seolah-olah merapat ke kubu pemerintahan, adalah sebuah tontonan bermutu. Lawan harus didekati, bukan dijauhi. Lagi pula melumpuhkan lawan memang harus dari dekat, bukannya dari jauh.
Kita berharap besok lusa akan ada “kejutan-kejutan” baru. Saling kritik, bila perlu saling menertawakan rival dengan humor yang tinggi. Sindiran dan lelucon yang tak berkelas tentu akan menuai ongkos politik yang buruk. Tangan mencencang, bahu memikul.
Para negarawan terdahulu seperti Natsir dari Masyumi dan DN Aidit dari PKI boleh “cakar-cakaran” di parlemen pada 1950-an. Tetapi tiba makan siang masih bisa duduk semeja seraya bercengkerama.
Ibarat tanding sepakbola, ya, kadang main keras, adu badan sehingga ada yang terpental. Bukan main kasar. Keras dan kasar itu berbeda. Lagian, mana mungkin tanding sepakbola jika tak ada lawan. Pula lawan main bukanlah musuh yang harus dihabisi, tetapi hanya sekadar sebuah “play” dengan seluruh rule dan etikanya.
Fenomena ini menunjukkan cara berpolitik kita semakin open talk. Semakin dewasa dan rakyat akan tahu apa-siapanya para calon pemimpin. Perang kata-kata, silakan sajalah. Toh, tak terbakar lidah bilang api, bukan?
Menyerang calon lain bagus saja, sepanjang tidak main fitnah. Sebaliknya, budaya politik yang ewuh pakewuh hanya akan menghilangkan makna, multi tafsir dan membingungkan. Berterus terang itu bagus.
Ibarat sepakbola, jangan sampai ada pemain membiarkan lawannya dan berkata “silahkan tendang bola ke gawang kami.” Ia pun tegak mematung. Bukannya merebut bola dari lawan. Betapa menyebalkannya “tontonan” seperti itu.