Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya tersenyum membaca berita ketika PKB menargetkan 10 kursi menteri untuk partainya. Itu diucapkan oleh Ketua Umum PKB Muhaimin “Cak Imin” Iskandar belum lama ini. Partai Nasdem juga meminta 11 kursi, karena perolehan kursinya di DPR lebih banyak dari PKB. Ini diucapkan oleh Anggota Dewan Pakar Partai Nasdem Taufiqulhadi pada 3 Juli lalu di Jakarta.
He-he, itu saja sudah berjumlah 21 kursi, padahal jumlah kursi di kabinet hanya 34 menteri. Dus hanya tinggal 13 menteri lagi yang dibagi-bagi oleh koalisi parpol pendukung Jokowi lainnya, seperti PDIP, Golkar dan PPP. Belum dihitung yang tak masuk parliament treshold, seperti PSI, PBB, Hanura dan lainnya.
Apalagi jika kelak terbukti bahwa PAN dan Partai Demokrat ikut bergabung, maka jatah kursi tersisa semakin sedikit. Ha-ha, bahkan semakin rumit menghitung berapa kursi menteri lagi yang tersisa untuk jatah kaum profesional yang nonparpol.
Namun jangan lupa bahwa semua itu baru bersifat usulan belaka. Toh, Presiden Joko Widodo mempunyai hak prerogatif untuk menentukan siapa menteri yang akan diangkatnya.
Namanya juga calon menteri tentu saja jumlahnya lebih banyak dari kursi tersedia. Sama saja dengan calon Pimpinan KPK sudah berjumlah 300 orang lebih, padahal komisioner KPK yang dibutuhkan hanya 9 orang. Lebih banyak piring dari nasi.
Keinginan menjadi menteri adalah hal yang profan belaka. Bukan sesuatu yang sakral atau suci dalam terminologi keagamaan. Tapi semata urusan duniawi yang sekular dan sah belaka.
Ketika seseorang terjun ke kancah politik, maka keinginan menjadi anggota parlemen baik di pusat dan daerah, bahkan menjadi kepala daerah, termasuk menteri serta presiden dan wakil presiden bukanlah hal yang tabu.
Cak Imin mengusulkan 10 kursi menteri, jangan-jangan untuk menampung aspirasi yang muncul secara demokratis di tubuh partainya. Dia kemudian menyalurkannya ke Presiden Jokowi, yang disadari Cak Imin mempunyai hak prerogatif. Tidak ada yang salah, bukan?