Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Kondisi industri penerbangan dalam negeri sedang tidak menggembirakan. Hal ini diakui oleh Staf Ahli Menteri Perhubungan Bidang Ekonomi Kawasan dan Kemitraan Perhubungan Gede Pasek Suardika.
Padahal, menurut data International Air Transport Association, Indonesia digadang-gadang akan menjadi negara dengan jumlah penumpang pesawat terbanyak pada 2036 dengan angka 355 juta orang.
Dalam acara Global Research on Sustainable Transport and Logistic (GRoSTLog) 2019 yang diselenggarakan ITL Trisakti. Gede membeberkan faktor-faktor yang membuat industri penerbangan dalam negeri menjadi lesu.
Pertama, adalah fluktuasi rupiah. Tidak bisa dipungkiri kalau biaya operasional di industri penerbangan Indonesia menggunakan mata uang dolar AS. Namun, di sisi lain pendapatan yang diterima oleh maskapai dalam bentuk rupiah.
"Hal ini lah yang membuat industri ini menjadi tidak efisien. Salah satu cara menanganinya adalah dengan menggunakan metode hedging," kata Suardika di Auditorium ITL Trisakti, Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Diharapkan, adanya hedging itu bisa melindungi biaya komponen penerbangan sehingga dapat memperkecil kerugian maskapai dari fluktuasi rupiah. Kemudian, masalah selanjutnya adalah terkait biaya avtur yang naik mengikuti harga minyak dunia.
"Dampak kenaikan biaya avtur salah satu poin kunci yang jadi faktor terbesar yang mempengaruhi biaya penerbangan. (Kontribusinya ke biaya) berkisar 30% sampai 40%," jelasnya.
Di sisi lain, kata dia, pertumbuhan ekonomi sepanjang semester I-2019 juga tidak terlalu signifikan. Padahal, pertumbuhan ekonomi jadi faktor untuk menggerakkan daya beli masyarakat. Hal ini menjadi pekerjaan rumah juga bagi pemerintah untuk bisa menggenjot ekonomi untuk bisa tumbuh lebih baik lagi.
"Ekonomi hanya tumbuh 5,1% sepanjang semester I-2019 sehingga daya beli masyarakat menurun," tuturnya.
Adapun, pemerintah juga telah merespon kondisi ini dengan melakukan evaluasi harga tiket. Salah satunya menurunkan tarif batas atas sebesar 12% hingga 16%. Ia juga mengklaim pemerintah sudah memberikan beberapa insentif fiskal, mulai dari jasa perawatan hingga impor suku cadang.
"Kebijakan penurunan tarif telah direspon positif oleh maskapai. Mereka memberi diskon di hari-hari tertentu seperti Selasa, Kamis dan Sabtu," jelasnya.
Tentunya, masih kata Suardika, ini menjadi tantangan dan peluang di industri penerbangan untuk mewujudkan Indonesia menjadi pasar terbesar di industri penerbangan. "Dibutuhkan kerja keras dalam industri penerbangan baik domestik maupun internasional," tutupnya.(dtf)