Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kita masih terkenang betapa Presiden Jokowi merakyat dengan penduduk kawasan Danau Toba (DanTob). Dia menyapa dan bersalaman dengan hangat. Bahkan, selfi-selfi alias foto bersama. Bersama Ibu Negara Iriana,dia pun gairah manortor alias menari Batak dengan warga.
Bahkan, menjanjikan anggaran besar untuk membenahi destinasi DanTob Terhitung APBN tahun ini dan tahun depan, 2020, tak kurang dari Rp 3,4 triliun digelontorkan untuk membenahi fasilitas kepariwisataan.
Begitulah, kesan yang kita nikmati selama tiga hari kunjungan Jokowi sejak 29 hingga 31 Juli silam. Setelah dia pulang, lalu apa gerangan yang kita lakukan?
Saya kira tiba masanya masyarakat di kawasan DanTob berbenah diri. Sebelum kelak para wisatawan asing datang membanjiri, keramahtamahan penduduk perlulah dibangkitkan.
Umpamanya, selalu tersenyum antar sesama warga, yang kelak membudaya pula terhadap wisatawan asing. Ucapan “horas” jika berpapasan di jalan perlu dibiasakan. Bukan hanya meluncur dari bibir, tapi juga dari hati yang tulus.
Meski sepenggal-sepenggal ucapan “Good morning, good afternoon hingga good night” bolehlah diamalkan jika bertemu turis. Suasana ini akan membuat para “tamu” antarbangsa merasa seperti di rumah sendiri. Mereka punya kenang-kenangan yang indah, hingga suatu saat ingin lagi berkunjung.
Termasuk ucapan-ucapan dasar tertentu, seperti “please, thank you” akan ikut membangun keakraban. Apalagi jika mampu berbahasa asing, akan semakin elok.
Tak hanya ucapan dasar bahasa Inggris. Tapi juga kalimat dasar dalam bahasa Mandarin, Melayu dan Jepang perlulah diadopsi secara perlahan. Maklum, turis asing datang tak hanya dari Eropa dan Amerika, tapi juga Malaysia, Cina dan Jepang.
Tak ada salahnya jika penanda sebuah detinasi wisata, seperti hotel, kedai kopi, penjualan suvenir, hingga obyek wisata juga diperkaya dengan plang memakai empat bahasa, bahasa Indonesia, Inggris, Mandarin dan Jepang. Para wisatawan akan tertolong.
Walaupun berupaya menjadi bagian dari globalisasi, namun nilai-nilai luhur warisan nenek moyang jangan sampai hilang. Kawasan DanTob harus terbuka dengan segala perubahan, tapi nilai budaya warisan leluhur tetap dipertahankan.
Lelaki dan perempuan yang memakai ulos kembalilah ditradisikan. Apalagi bagi karyawan hotel dan restoran. Di lobi hotel misalnya selalu ada pemain musik tradisi yang siap memalu musik leluhur.
Bahkan, selain mencoba berbahasa asing, warga di kawasan Danau Toba saat berkomunikasi dengan para wisatawan, ada baiknya menularkan bahasa lokal, walau hanya sepotong-sepotong. Misalnya, ucapan “horas”, “mauliate” dan sebagainya.
Pendek kata, budaya, dan tradisi Batak Toba, Simalungun, Karo dan Dairi harus melebur dengan iklim pariwisata. Semetara itu, selalu setia pada nilai-nilai kulturalnya tanpa harus dipertentangkan dengan budaya yang datang dari luar.