Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Hannah Arendt menulis, bahwa "A theatre is the political art, part excellence." Teater adalah seni politik paling indah. Aktor teater luar biasa. Dia perankan seorang tokoh dalam suatu teks dengan amat memukau. Bukan pura-pura. Dia melebur menjadi tokoh itu. Dia menangis, dan para penonton terisak-isak. Atau bertindak kesatria, dan penonton bertepuk tangan.
Kita ingat Julius Caesar karya William Shakespeare berkisah tentang kesetiaan dan penghianatan dalam politik. Atau King Lear tentang suksesi.
Namun lakon drama Suksesi dari Teter KOMA di Jakarta disetop polisi pada 1990. Juga Opera Kecoa di tahun yang sama. Rendra juga dilarang baca puisi. Padahal, baik Rendra dan Nano hanya mengamalkan petuah Hannah Arendt, bahwa teater adalah seni politik terindah,
Sebaliknya, para politikus mengubahnya menjadi, bahwa “politik adalah seni teater tingkat tinggi.” Politik pun bagai dibungkus dengan akting aktor drama yang tak kalah meyakinkannya.
Saat kampanye Pemilu atau Pilkada, mereka datangi rakyat kecil, mengelus kepala bocah di gendongan ibunya, dan berjanji akan memperjuangkan nasib rakyat.
Di hadapan kaum buruh, dia berjanji akan memperjuangkan upah yang layak. Cukup pangan dan sandang. Juga perumahan. Biaya kesehatan dan pendidikan anak pun diiming-imingkan.
Mungkin, fenomena itu akan muncul dalam Pilkada serempak 2020, termasuk di beberapa daerah di Sumatera Utara.
Rakyat bersorak gembira. Rakyat bertekad memilih dia sebagai Kepala Derah. Ketika dia terpilih, rakyat pun menagih janji-janji kampanyenya.
Mulailah, sang politikus berteater. Seolah-olah tak pernah berjanji. Dulu, dia berlakon sebagai calon Kepala Daerah. Sekarang lakonnya sudah lain. Dia telah menjadi pejabat, atau pejabat daerah.
Dia telah mendekonstruksikan pendapat Hannah Arendt menjadi bahwa politik adalah seni teater paling licik.
Kita pun teringat kepada pemikir politik Niccolo Machiavelli dari abad ke 15, yang dalam bukunya The Prince, bahwa seorang politikus haruslah kelihatan memiliki sifat-sifat yang baik, yang melidungi rakyat.
Hanya kelihatan saja, tetapi tidak perlu sungguh-sungguh bagai pemimpin sejati. Persis menirukan sang aktor drama, yang di atas panggung bisa menangis, tapi di belakang panggung dia tertawa.
Tak heran, jika tak sedikit politikus dan pejabat yang menjadi pasien KPK. Terlibat korupsi. Ada semacam hipokrisi.
Kita percaya masih banyak politikus yang jujur dan setia kepada rakyat. Namun, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Kita berharap dalam Pilkada serempak 2020, tidak ada lagi politikus yang berteater. Tapi sungguh-sungguh membela rakyat, setelah terpilih.