Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Delegasi Uni Eropa (UE) mempertanyakan berbagai hal baru dalam RUU KUHP yang belum ada di KUHP saat ini seperti kriminalisasi kumpul kebo. Mereka adalah perwakilan Jerman, Inggris, Prancis, dan Belanda.
Hal itu terungkap saat delegasi tersebut menemui Fraksi Partai NasDem di komplek DPR pada Kamis (8/8) kemarin. Staf penasihat bagian politik kedutaan Belanda, Roy Spijkerboer mempertanyakan artikel tentang perzinahan dan hubungan sejenis tersebut.
"Dalam rancangan terakhir tidak ada kriminalisasi atas hal itu. Memang hal itu kontroversial, tapi jika disentuh akan melanggar HAM," kata Roy dalam siaran pers NasDem yang diterima, Jumat (9/8/2019).
Anggota DPR Teuku Taufiqulhadi yang menemui delegasi UE itu menjelaskan bahwa terkait hal itu tidak secara jelas disebutkan sebagai perbuatan kriminal. Namun, jika terjadi pelanggaran misalnya dalam bentuk pencabulan diberlakukan hukuman secara umum.
Delegasi Uni Eropa (UE) yang dipimpin oleh Charles-Michel Geurts selaku kuasa usaha delegasi UE untuk Indonesia juga mempertanyakan nilai-nilai tradisional yang diadopsi RUU KUHP. Geurts mengatakan bahwa negara-negara UE memiliki nilai tradisional yang juga menjadi nilai dalam hukum pidana. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah upaya yang luar biasa untuk membangun keteraturan sosial.
"Dari pengalaman kami di EU, nilai tradisional tidak bersebrangan dengan nilai universal, tapi justri saling melengkapi atau komplementer," kata Geurts.
Namun demikian, para perwakilan UE tersebut ingin membahas sejumlah isu dalam RUU KUHP yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Adapun Konselor Utama Kedutaan Besar Prancis, Charles-Henri Brosseau, menanyakan putusan hukuman mati dalam RUU KUHP dalam keterkaitannya dengan pembahasan di PBB yang akan menekankan perlunya moratorium hukuman mati.
"Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan sepakat dengan hukuman mati. Tapi kami sudah melihat hukuman mati disebut sebagai hukuman alternatif. Kami mengapresiasi perkembangan ini," kata Brosseau.
Menanggapi hal itu, Taufiqulhadi menerangkan bahwa hukuman mati dalam KUHP lama merupakan hukuman pokok, sedangkan dalam RUU KUHP saat ini sebagai hukuman alternatif.
"Meski demikian, tidak berlaku surut atau retroaktif atas putusan yang telah diberikan kepada terpidana hukuman mati," kata Taufiqulhadi.
Wakil Duta Besar Inggris, Robb Fenn lebih jauh mempertanyakan kriminalisasi atas kritik terhadap simbol negara, termasuk Presiden dan Wakil Presiden.
Ditanya hal itu, Taufiqulhadi menyatakan aturan penghinaan terhadap simbol negara tetap berlaku. Sebagaimana akan diberlakukan hukuman terhadap warga yang melakukan penghinaan terhadap kepala negara lain yang tengah berada di Indonesia.
"Simbol negara merupakan sesuatu yang harus dihormati, kami yakin ini tidak akan mengganggu demokrasi dan kebebasan. Yang berbeda dari RUU KUHP ini adalah penghinaan terhadap presiden bersifat delik aduan. Jika kepala negara tidak tersinggung, maka hukum tersebut tidak dapat diberlakukan," katanya.
Sedangkan Wakil Kepala Bidang Politik Kedutaan Jerman,Martin Eberts juga mempertanyakan pasal tentang aborsi dan alat kontrasepsi. Menurutnya, ada kesalahpahaman dalam pembahasa RUU KUHP yang masih memberikan hukuman terhadap pelaku aborsi.
Taufiqulhadi menjelaskan bahwa pandangan hukum terkait aborsi sangat lekat dengan nilai kepercayaan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Dalam ajaran Islam dijelaskan bahwa janin yang ada dalam kandungan telah memiliki kehidupan dalam usia 40 hari.
"Jika janin sudah memiliki kehidupan, dan kemudian ditiupkan ruh, maka ia sudah hidup. Kita tidak membiarkan aborsi karena itu juga menyangkut hak hidup bayi yang masih dalam kandungan. Sehingga dalam RUU KUHP aborsi tetap tidak diperbolehkan setelah memasuki usia kehamilan 40 hari. Meski demikian, ada pengecualian untuk keadaan tertentu yang secara medis menunjukkan harus dilakukan aborsi," jelas Taufiqulhadi.
Perlakuan terhadap hukum adat juga menjadi pertanyaan Geurts. Menurutnya, Indonesia belum memiliki kejelasan keberlakuan hikum pidana negara terhadap keberadaan hukum adat.
"Bagaimana jika wisatawan dari Eropa yang datang ke Indonesia, kemudian dijatuhkan sanksi hukum ada di daerah tersebut? Apakah ada perlindungan dari negara, karena secara KUHP warga kami tidak bersalah," tanya Geurts.
Menanggapi hal tersebut, Taufiqulhadi menjelaskan bahwa hukum adat berlaku secara lokal pada komunitas masyarakat. Semua orang harus menghormati keberadaan hukum adat di wilayah tersebut.
"Namun, negara tetap melindungi warga dari tindakan persekusi oleh sekelompok orang," pungkas Taufiqulhadi.(dtc)