Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Betapa banyak bisnis yang tenggelam karena dilanda disrupsi. Transportasi online menggusur angkutan konvensional. Wartel mati karena era handphone. Pembeli di toko dan plaza susut karena konsumen membeli secara online.
Apakah fenomena ini juga akan melanda partai politik (parpol)? Jika berkaca pada hasil Pileg 2019, tampaknya belum. Parpol lama masih superior. Bahkan ada 4 parpol baru tak meraih parliament treshold.
Tapi apakah pada Pemilu 2024, dan seterusnya masih tetap unggul? Saya khawatir persepsi publik bisa bergeser. Publik lama-lama bisa jemu melihat proses demokratisasi di tubuh parpol.
Ternyata banyak pemilihan ketua umum bukan sebagaimana galibnya demokrasi, melalui pemungutan suara. Melainkan secara aklamasi. Ada pula wacana calon tunggal untuk ketua umum.
Ada semacam standar ganda. Pemilu diselenggarakan dengan prinsip one man one vote, mengapa pemilihan DPP, DPD dan DPC parpol telah mereduksi demokrasi. Padahal inti dari era reformasi adalah demokratisasi yang cocok dengan inspirasi dan asprasi zaman baru.
Regenerasi pun hampir diluputkan. Agaknya, hanya Golkar yang rada lumayan regenerasinya. Mulai dari Akbar Tanjung (1998), Jusuf Kalla (2004), lalu disusul oleh Aburizal Bakrie, Setya Novanto dan Airlangga Hartarto.
Dinosaurus
Saya kira parpol harus melakukan otokritik. Jangan merasa mapan berada di zona nyaman dan mempertahankan status quo. Jika tiba masanya, persepsi publik bergeser tak mustahil melakukan dekonstruksi.
Apalagi persepsi publik terhadap citra parpol masih dekat dengan korupsi, walau itu dilakukan oleh oknum. Banyaknya anggota DPR-DPRD dan kepala daerah yang berasal dari parpol yang terjerat kasus korupsi telah menguatkan persepsi itu.
Syahdan, disruption bermakna “an event that results in a dis - placement or discontinuity”, “the act of causing disorder”, atau “the act or rending asunder, or the state of being rent asunder or broken in pieces”.
Artinya, kira-kira, “sebuah kejadian yang mengakibatkan pergantian (perubahan) atau diskontinuitas,” “tindakan yang menyebabkan gangguan,” atau “tindakan atau penyingkiran, atau keadaan terpecah.”
Lagi pula tradisi aklamasi dan calon tunggal itu tak bisa selamanya bertahan. Suatu hari bisa saja figur yang dominan tak ada lagi. Sehingga jika regenerasi tak dipersiapkan, diskontinuitas kepemimpinan bisa terjadi.
Saya kira selaras dengan era teknologi informasi (TI), komunikasi parpol dengan massa juga harus berubah. Peluncuran opini, sosialisasi gagasan, dan pengerahan “massa” lebih efektif melalui TI. Lalu disahuti massa lewat arus balik juga melalui TI
Harus ditampilkan “industri politik” modern. Tak lagi mengandalkan cengkeraman tradisional terhadap massa melalui rapat-rapat politik, meskipun sesekali masih diperlukan.
Tinggal merumuskan “industri politik” secara modern. The right man on the right place. Semua kader sama haknya dalam mekanisme dipilih dan memilih. Demokratis dan tak ada hak prerogatif..
Zaman sudah berubah. Dan akan terus berubah. Parpol yang ogah berubah akan digilas oleh tsunami disrupsi, yang dahsyat itu. Pilihan publik bisa bergeser ke parpol yang demokratis dan modern. Tabik!