Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Syahdan, negeri ini berpenduduk 260 juta jiwa. Untunglah, doktrin kita berbangsa sangat meyakinkan. Ada Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tapi satu. Ada Sumpah Pemuda bahkan doktrin NKRI.
Namun peristiwa di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya, Jumat (16/8) lalu yang diikuti oleh demonstrasi di Manokwari, Sorong dan Jayapura, telah membuat kita terperangah. Ada ketersingungan, ada kemarahan, yang meminta kita untuk merenung. Bagaimana gerangan kita mengimplementasikan dalam kehidupan multikulturalis di negeri tercinta ini?
Saya ingat ada teori Melting Pot, bahwa sebuah bangsa yang heterogen, baik etnik dan agama, haruslah membaur ke etnik atau agama mayoritas. Membaur tak berarti menghilangkan identitasnya. Tapi hanya memakai identitas untuk dirinya sendiri, dan tidak mengekspresikannya secara aktif dalam kehidupan sosial politik, ekonomi dan kebudayaan. Melting pot macam ini, sangat diskriminatif, Saudara! Harus kita tolak!
Kedua, ada teori Melting Pot yang berbagai unsur diaduk menjadi satu. Dari heterogen menjadi homogen. Mirip membuat dodol. Berbagai bahan seperti tepung ketan, , santan dan gula merah, lalu terciptalah dodol. Kira-kira, masudnya, memetik sebagian unsur kultural dari masing-masing identitas yang ada. Lalu, muncullah identitas baru. Dari keberagaman menjadi seragam. Saya kira deskripsi macam ini pun harus kita tolak!
Ketiga, adalah kebudayaan multukulturalistis, barangkali, lebih nyaman. Teori ini menggambarkan bahwa heterogenitas yang ada tak menghalangi mereka untuk mengungkapkan identitas dan eksistensinya masing-masing, termasuk di pentas politik, ekonomi dan kebudayaan.
Kira-kira seperti membuat salad. Meskipun sudah diolah dan dimasak, tapi masing-masing bahan, seperti buah wortel, jagung manis, buah putren, bawang bombay, buah tomat, kol, sepotong daging ayam dan berbagai bumbu lainnya, tetap utuh berdiri sendiri tapi telah membentuk salad. Tanpa ada peleburan atau perubahan bentuk. Mirip pelangi yang indah.
Inilah, Unity in Diversity, indahnya keberagaman atau Bhinneka Tunggal Ika yang saling menghormati. Bukan menyatukan semua kehendak menjadi satu warna. Tidak hanya satu rasa bagaikan dodol tersebut.
Toh, dalam perbedaan ada kesamaan. Kita sama-sama antikorupsi, antikekerasan, dan pro dengan kasih sayang antarelemen dan komponen dalam ikhtiar menggapai kesejahteraan umum. “Aku adalah Jawa, Papua, Batak, Bugis dan sebagainya, tapi sekaligus juga aku adalah Indonesia”.