Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Mengapa orang-orang tak jemu-jemunya ingin menjadi pejabat publik? Menjadi gubernur, walikota, bupati, anggota DPR dan DPRD? Kepala Badan, OPD dan sebagainya? Tidakkah, mereka khawatir kelak ada kemungkinan akan terlibat korupsi, menerima suap atau gratifikasi?
Pengalaman kita di Sumatra Utara memperlihatkan betapa dua gubernur dan 7 atau 8 bupati dan walikota yang tersandung kisah korupsi. Bahkan, lebih dari 30 anggota DPRD yang terlibat “uang ketok” APBD.
Mungkin, banyak yang beranggapan bahwa menjadi pejabat publik itu adalah semacam pekerjaan. Jadi, legal dimanfaatkan untuk mencari rejeki. Semakin banyak semakin baik, karena batas kekayaan itu sangat relatif.
Nah, di genggaman ada kekuasaan, misalnya untuk mengeluarkan izin atau rekomendasi, bagi para Kepala Daerah. Anggota DPR dan DPRD, punya kewenangan untuk mengesahkan APBN-APBD, menolak dan menyetujui hak interpelasi dan hak angket yang membuat hati pejabar gentar.
Bukan tidak mustahil dalam proses-proses tersebut dihadapkan dengan rayuan segepok duit. Baik untuk memuluskan izin, dan membatalkan hak angket atau interpelasi. Yang tadinya polos dan bersih, mulai digoda oleh cumbuan moral, yang tak mustahil terjerumus ke lembah abuse of power.
Tidak setiap orang bisa konsisten antikorupsi. Ada kalanya, syaraf moral meredup, mungkin oleh keinginan memperkaya diri lebih cepat, atau dorongan anak istri yang hidup hedonis. Atau karena terus-terusan digoda oleh para penyogok.
Kala itu, sikap antikoprupsi mengendur, dan lalu mencari pembenaran yang pragmatis.
Seorang calon pejabat publik itu tidak mesti kayaraya -- karena yang kaya pun bisa dirasuki penyakit “kurang kaya.” Melainkan mereka yang berpandangan bahwa jabatannya itu bukanlah pekerjaan. Tetapi sebuah tugas konstitusional, yakni mengabdi kepada bangsa, Negara dan rakyat.
Lalu, makan dan hidup dari mana? Lho, kan ada gaji, tunjangan dan berbagai fasilitas? Lumayan juga besarnya.
Semoga yang bertipe “pengabdi” ini kian banyak populasinya. Bukan malah menjadi mahluk langka, satu dalam seribu.