Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Hubungan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara (Pemprovsu) dengan DPRD Sumut bagai “ngeri-ngeri sedap” bak kata orang Medan. Mulanya, rapat paripurna gagal mengesahkan P APBD 2019 karena kehadiran anggota DPRD tidak memenuhi korum. Hanya 46 orang dari 100 orang anggota DPRD yang hadir pada 27 Agustus, setelah sebelumnya tidak memenuhi korum pada Senin (19/8).
Mengapa korum tak terpenuhi? Tak ada konfirmasi mengenai hal ini. Padahal, ini adalah tanggung jawab DPRD periode 2014-2019. Tak diketahui apakah karena banyak yang tidak terpilih lagi, lalu “malas” menghadiri sidang paripurna.
Apa boleh buat, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018, jika setelah dua kali diskors tetap tidak memenuhi korum, maka paripurna dibatalkan, dan pengambilan keputusan diserahkan ke Mendagri.
Eh, Pemprov melakukan “lobi-lobi” melalui “makan malam” bersama antara Pemprov dengan pimpinan DPRD pada Sabtu malam (31/8) di suatu hotel di Medan. Hasilnya, syahdan, sidang paripurna untuk membahas P APBD akan digelar lagi.
Entah bagaimana kesudahannya, marilah sama kita tunggu. Tapi ternyata bukan kali ini saja DPRD menolak mengesahkan P APBD. Hal serupa sudah terjadi pada P-APBD Sumut 2018. Padahal, sebelumnya sudah ada kesepakatan awal antara Badan Anggaran (Banggar) DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Provsu menjelang penandatanganan
Syahdan, kesepakatan tersebut mengalami perubahan salah satunya menganulir hibah bantuan sosial (Bansos). Meskipun prosesnya sudah melalui Reses dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Inilah, salah satu sebab, mengapa DPRD menolak meneken Nota Kesepahaman KUA-PPAS P-APBD 2018.
Seperti diketahui, pengesahan APBD menjadi Perda diperlukan sebagai payung hukum. Sebab jika tidak, maka penggunaan anggaran bisa berpotensi menjadi kasus hukum. Itu sebabnya di beberapa daerah, gubernur cenderung mengeluarkan Pergub tentang P APBD agar mempunyai payung hukum yang kuat.
Kita ingat lagi dalam UU No 32 tahun 2004, bahwa DPRD berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah. Gubernur bukan subordinat dari DPRD. Bukan juga sebaliknya. Tidak saling membawahi. Kira-kira bak “suami-istri” lah.
Hubungan DPRD dan kepala daerah erat kaitannya dengan seni berpolitik. Namun bila pola kemitraan kadang “bercerai” lalu “rujuk” pula tak mustahil rakyat melihatnya seperti “kisah sinetron.”
Sebaliknya, bila masing-masing merasa berposisi lebih tinggi dari yang lainnya, yang muncul adalah ego sektoral. Tentu saja pada gilirannya akan merugikan rakyat.
Saya kira, diperlukan sintesa. Bukan antitesis. Masing-masing harus berjiwa besar untuk saling bersinergi. Saling mendengarkan, bukan saling menegasikan. Tabik!