Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Harga ayam hidup di tingkat peternak kini anjlok menjadi Rp 8.000 per kg. Padahal, harga pokok produksi (peternak HPP) sebesar Rp 18.700 per kg. Aduhai, harga acuan pembelian daging ayam di tingkat peternak antara Rp 18.000-Rp 20.000/kg tak lagi berlaku.
Tak tahan dihimpit kerugian, ratusan peternak ayam, Kamis (5/9) lalu menggeruduk kantor Menko Perekonomian di Jakarta. Mereka menuntut pemerintah turun tangan menyelesaikan permasalahan harga ayam hidup yang anjlok. Mereka berdatangan dari Bandung, Bogor, Cirebon, dan beberapa kota di Jawa Tengah.
Seorang peternak, Sugeng Wahyudi yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) pun berbicara kepada wartawan. Dia mengatakan, anjloknya harga itu telah merugikan peternak ditaksir Rp 1,7 triliun sampai Rp 2 triliun. Itu, bila dihitung secara nasional khusus untuk peternak kecil. Belum termasuk kerugian perusahaan besar.
Logika Sugeng begini. Jumlah produksi ayam peternak kecil secara nasional adalah 18 juta ekor per minggu. Rata-rata berat ayam adalah 1,6 kilogram (kg). Jadi totalnya 28,8 juta kg dan dikalikan 52 minggu menjadi 1.497.600.000 kg per tahun.
Selanjutnya 1.497.600.000 kg ayam hidup per tahun dikalikan Rp 1.200 yang merupakan estimasi kerugian minimal per kg ayam. Maka muncullah angka Rp 1,7 triliun atau dibulatkan menjadi Rp 2 triliun.
Saya kira hitungan Sugeng ini masih terlalu kecil. Sebab jika HPP daging ayam saja sudah mencapai Rp 18.700 per kg, dengan harga ayam hidup Rp 8.000 per kg, kerugian petani sudah mencapai Rp 10.700 per kg.
Supply dan Demand
Memang, menurut data Kementan melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) mencatat, bahwa potensi kebutuhan daging ayam ras tahun 2019 sebesar 3.251.745 ton. Sementara potensi produksi daging ayam ras tahun 2019 sebesar 3.829.663 ton. Jadi, surplus sebanyak 577.918 ton.
Nah, menurut keterangan resmi Kementan, Jumat (6/9/2019), berdasarkan Surat Edaran Ditjen PKH 2 September 2019 harus dilakukan beberapa hal. Yakni, Pengurangan Day Old Chick (DOC) Final Stock (FS) (anak ayam usia sehari) tahun 2019 , langkah Cutting HE Umur 19 hari dan tunda setting. Dengan begitu, diharapkan peternak mandiri menikmati harga HPP yang stabil.
Maklum, menurut rilis tersebut, harga livebird di tingkat farm gate (peternak) hanya Rp 11.000-17.000. Padahal, harga di pasar masih stabil tinggi sebesar Rp 30.0000-35.000. Angka ini berbeda dengan harga di tingkat peternak, yang menurut Sugeng hanya Rp 8.000 per kg.
Disparitas harga yang sangat tinggi inilah yang membuat Ditjen PKH mengimbau kepada pelaku usaha peternakan baik integrator maupun peternak mandiri untuk memaksimalkan kapasitas pemotongan ayam di RPHU. Selanjutnya disimpan di cold storage minimal 30% dari produksi. Maksudnya, agar seimbang antara supply dan demand.
Tapi selain itu, saya kira peluang ekspor perlu ditempuh. Cobalah, dijajagi kemungkinan mengekspor ke Singapura, Jepang dan negara lain yang tidak memproduksi daging ayam. Peternak mungkin akan tertolong, apalagi dengan harga yang lebih tinggi.
Peternak semakin risau jika Indonesia membuka keran impor daging ayam dari Brasil. Apalagi Indonesia kalah dengan Brasil dalam sidang World Trade Organization (WTO).
Bila impor dari Brasil masuk, akan memperparah harga ayam dalam negeri. Lagi pula untuk apa mengekspor jika produksi justru surplus?
Memang, sejauh ini, belum ada tanda-tanda Indonesia akan segera mengimpor daging ayam dari Brasil. Namun jika itu terjadi, akan membuat peternak lokal gigit jari.
Alangkah elok jika pemerintah juga memberikan kompensasi, yaitu membuat harga pakan dan sebagainya bisa lebih terjangkau. Dengan begitu mereka memiliki daya saing.
Perlu juga mengatur distribusi ayam domestik antarpulau secara nasional. Sebab, ternyata harga ayam hidup maupun daging ayam lebih rendah di Jawa dibandingkan dengan di Sumatera. Boleh jadi ada yang suply-nya over, dan ada yang tidak, dibandingkan dengan demand.