Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Semakin merajalela. Tiga operasi tangkap tangan (OTT) dilancarkan KPK dalam 2 hari, 2 dan 3 September 2019. Ada Bupati Muara Enim di Sumatera Selatan, yakni Ahmad Yani, dan Elfin Muhtar sebagai Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan PPK di Dinas PUPR Muara Enim serta Robi Okta Fahlefi, seorang pengusaha.
Ada pula Bupati Bengkayang, Suryadman Gidot di Pulau Kalimantan yang menerima suap terkait proyek pada Dinas PUPR, serupa dengan kasus Muara Enim.
Keesokan harinya, 3 September 2019, KPK menangkap Direktur Pemasaran PT PTPN III, I Kadek Kertha Laksana bersama seorang pengusaha, Pieko Nyotosetiadi. Pieko diduga memberikan suap demi mendapatkan kuota impor gula. KPK juga menjerat Dirut PTPN III Dolly Pulungan, yang menyerahkan diri.
Kita bosan, kapan gerangan kisah OTT ini berhenti? Tapi sesungguhnya ini merupakan pertanda penegakan hukum semakin serius di negeri ini. Ibarat kuman penyakit yang diidap sebuah tubuh semakin banyak berkeluaran, sehingga sang tubuh semakin steril.
Dalam bahasa ilmu pertanian, ketika banyak pepohonan tumbang bersama daun-daunnya, maka di atas pohon dan daun-daun yang busuk itu akan muncul tunas dan pohon baru yang lebih subur.
Tapi sebaliknya ibarat meja makan, jika sudah dan kian kotor, orang akan cenderung mencari meja makan yang lain. Soalnya saban ada yang membersihkan meja makan, ada saja yang kemudian mengotorinya.
Saya kira, sebagai lokomotif pemberantasan korupsi, KPK juga harus bekerja-sama dengan lembaga penegakan hukum lainnya, kejaksaan, kepolisian, kehakiman dan para advokat untuk konsisten memberantas korupsi.
Tak mungkin one man show. Tak mungkin single fighter, seperti dongeng tentang Rambo yang mengalahkan ribuan tentara Vietkong dalam film fiksi. Padahal, nyatanya AS kalah dalam perang Vietnam.
LSM, ormas, parpol, pers dan DPR harus ikut mengawal pembasmian korupsi hingga ke akar-akarnya. Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir keadilan harus pula menunjukkan keagungannya.
Pembasmian korupsi tanpa dibarengi pencegahan bisa kehilangan tenaga. Sistem dan pengawasan menjadi penting.
Seyogianya para kepala Inspektorat Jenderal di berbagai departemen dan kepala Inspektorat di daerah harus diberdayakan. Mereka harus lebih bertaji.
Kita bertanya, bagaimana sih kinerja para inspektorat ini? Mengabaikan sistem pengawasan akan membuat kasus korupsi terus rawan. Bukankah pencegahan lebih penting dibanding pengobatan?
Pengawasan yang tak bertaji itu secara tak langsung ibarat “memelihara” koruptor. Saya kira narasi besar tentang pengawasan internal sangat mendesak diperlukan Indonesia sekarang. Bukan nanti!