Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya percaya Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengikuti demonstrasi besar-besaran selama tiga hari berlalu. Baik yang dilakukan mahasiswa dan berbagai elemen pada Senin-Selasa (23-24/9) maupun oleh kaum pelajar pada Rabu (25/9) lalu pastilah dicermati oleh Jokowi dengan serius. Tak masuk akal rasanya bila Jokowi tidak peduli.
Jika pun Jokowi belum memberikan reaksi atau tanggapan, saya kira dia hanya lebih berhati-hati saja. Mungkin, sudah ada rencana untuk merespon demo yang menolak UU KPK yang baru disahkan DPR, maupun pembahasan serta pengesahan 4 RUU lainnya, yakni RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba dan RUU Lembaga Pemasyaraatan.
Apalagi dalam rapat konsultasi DPR dengan Presiden pada Senin (23/9), Jokowi sudah menyarankan agar DPR menunda pembahasan 4 RUU tersebut. Selain akan menerima masukan dan kajian dari berbagai pihak, tampaknya juga diserahkan kepada DPR periode 2019-2004.
Sesungguhnhya, DPR telah menunda pembahasan 4 RUU tersebut dalam rapat paripurna pada Selasa (24/9). Namun unjuk rasa terus berkecamuk hari itu, dan Rabu (25/9). Boleh jadi juga berlanjut hari ini.
Saya menduga karena UU tentang KPK tak diutik-utik, artinya tetap sah dan tinggal menungu proses penomoran. Padahal para demonstran meminta agar UU tentang KPK tersebut juga dibatalkan.
Posisi Jokow terang dilematis. Sulit membayangkan jika dia misalnya mengeluarkan Perpu untuk membatalkan UU KPK tersebut. Namun fakta sosial menunjukkan UU itu ditolak oleh berbagai pihak. Mulai dari akademisi, mahasiswa, pelajar, LSM dan berbagai elemen.
Saya kira Jokowi harus memberi respons. Membiarkannya berlama-lama akan membuat suasana berseberangan semakin tajam dan mengkristal. Tidak kondusif bagi situasi stabilitas politik di negeri ini.
Barangkali ada baiknya jika Jokowi mengajak berbagai elemen untuk bersilaturrahmi. Pertemuan dirancang dalam suasana ramah tamah. Namun saling berbagi pikiran dan perasaan sebagai sesama satu bangsa dan satu tanah air.
Barangkali, kelompok-kelompok yang menolak UU tentang KPK akan merasa didengarkan. Boleh jadi akan tercipta saling pengertian, saling memahami. Kendatipun belum tentu berupa penerimaan terhadap UU yang menuai prokontra tersebut.
Presiden Joko Widodo tinggal mencari momentum yang tepat. Mengundang berbagai pihak yang representatif.
Saya berharap, jika silaturrahmi itu digelar, masing-masing pihak – pengundang maupun yang diundang -- tidak bersikap take all or nothing (semua atau tidak sama sekali). Sikap seperti itu condong tidak menghargai eksistensi pihak lain.
Tidak pula bersikap black and white. Sebab sikap dan cara pandang seperti itu cenderung memaksakan pikiran dan kebenaran sepihak, tanpa mendengarkan atau menimbang sikap dan pandangan orang lain.
Demikianlah potret negeri yang demokratis. Berbeda pendapat bukanlah hal yang tabu. Lagi pula bangsa ini sudah membuktikannya dalam Pileg dan Pilpres 2019. Pilihan boleh berbeda, tapi semuanya tetap Indonesia. Pohon di hutan pun tidak homogen. Ikan di laut pun heterogen.