Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pekik sindiran bergema di ruang tunggu wartawan Bina Graha, Jakarta – ruang kerja Presiden kala itu. Eh, Presiden Soeharto malah menebar senyum ramah saat menerima sekitar 100 orang mahasiswa mewakili 35 pengurus Dewan Mahasiswa se-Indonesia. Saat itu, 11 Januari 1974, menjelang Peristiwa Malari 15 Januari, demonstrasi mahasiswa yang dahsyat itu.
Seperti ditulis majalah TEMPO edisi 13 Januari 2014, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia Hariman Siregar mula-mula meminta Presiden menganggap mahasiswa sebagai anak. Sekejap kemudian, “anak-anak presiden” mulai memberondong Soeharto dengan rentetan kritik.
Muslimin MT dari Dewan Mahasiswa IKIP Jakarta menanyakan mengapa modal asing tak disalurkan lewat jalur resmi. Tapi melalui Soedjono, Aspri Presiden. Dia pun bertanya, “Apa benar Ali Moertopo calo politik?”
Dalam pembicaraan tertutup selama dua jam itu, Soeharto lebih banyak mendengarkan. Irit bicara. Soeharto tak menyalahkan anak buahnya. Ia justru menyatakan, “Semua tanggung jawab saya. Semua yang dilakukan oleh Aspri atas sepengetahuan saya.”
Presiden juga tak buru-buru membenarkan laporan mahasiswa soal kongkalikong pejabat dan isteri-isteri mereka dengan pengusaha. “Mana buktinya?” ujar Soeharto.
Memang, sejak pertengahan 1973 sudah muncul protes dari kalangan akademikus dan kelompok kritis terhadap strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Saya telusuri lebih jauh. Melalui “Mbah Google”, saya mendapatkan isi Majalah TEMPO ketika menulis pertemuan itu dalam edisi 19 Januari 1974, Ternyata pertemuan itu bukannya tanpa manfaat.
Menurut Hariman Siregar, pertemuan itu sendiri positip, apalagi menurut Presiden “adalah tugas mahasiswa untuk memberi pikiran-pikiran sebagai pewaris masa depan”.
Muslim Tampubolon, Ketua DM ITB, merasa puas. “Kalau dialog itu merupakan langkah permulaan” tetapi akan tidak berarti apa-apa” kalau tak ada perubahan selanjutnya.”
Agaknya, hapuslah isu “mau mengganti Soeharto” seperti yang semula dituduhkan seorang pejabat tinggi ABRI.
Sekneg Sudharmono menyatakan sehabis pertemuan, bahwa sebagai mandataris MPR, Presiden telah menampung semua pertanyaan dan keluh-kesah yang diajukan para pimpinan mahasiswa.
Melati yang Indah
Sehabis dialog, beberapa pimpinan mahasiswa mengatakan “cukup memuaskan.” Beberapa lagi beranggapan sebaliknya. Hatta Albanik, Ketua Umum DM Unpad Bandung merasa “tidak semua jawaban kita peroleh.”
Temannya dan Unpad, Paulus Tamsil, mengatakan, “di antara kita banyak yang menganggap kenyataan yang ada sekarang berbeda dengan ucapan yang sering dilontarkan Presiden.”
Seorang peserta pertemuan merasa isi hatinya terganggu karena “pertanyaan-pertanyaan banyak yang dijawab dengan anggukan dan senyuman.”.
Mungkin karena mereka belum tahu juga apa makna senyuman Pak Harto. Misalnya angguk dan senyum itu nampak ketika menghadapi pertanyaan Muslimin MT dari DM-IKIP Jakarta: “Siapakah yang membangun dan memiliki Istana Kalitan di Surakarta, siapa yang memberi rekomendasi kredit dan berapa kredit yang diberikan kepada Batik Keris dan Sandra Tex, siapa yang punya saham PT Wana dan PT Bogasari?”
Michael Wangge, Ketua DM-Udayana Denpasar malah menyindir. “Kami tahu betul setiap pencalonan gubernur selalu didahului surat-surat dari Opsus.” Untuk kesekian kalinya Kepala Negara tersenyum dan mengangguk.
Demikian pula ketika menerima serbuan pertanyaan lebih tajam dan menyebut keterlibatan sementara pejabat pemerintah, nyonya-nyonya pejabat serta pengusaha-pengusaha yang ditunjang instansi atau pejabat resmi. Mendengar ini Presiden balik bertanya, “mana buktinya?”
Lalu bagaimana sikap mahasiswa yang masih resah itu? “Kita akan terus seperti sekarang” jawab Hariman, “sudah sejak dulu kita bilang aksi-aksi ini akan merupakan rangkaian melati, penuh bunga-bunga dan akan menjadi indah/”
He-he, sejumlah mahasiswa yang tidak memiliki undangan, dan hanya dibolehkan menanti di ruang tunggu wartawan Bina Graha, telah mengisi waktu dengan nyanyian. “Di sana Jepang di sini Jepang, di mana-mana modal Jepang.” Ada lagi, ‘Cangkul Cangkul Cangkul yang dalam, cukong yang subur wajib dihibur.”