Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Civil society atau masyarakat sipil sedang bergerak. Kaum mahasiswa, pelajar, akademisi, berbagai LSM dan tokoh masyarakat meminta agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu atas UU KPK yang telah disyahkan DPR.
Kita teringat Hannah Arendt (1906-1975) dan Jurgen Habermas (1929-) yang mendefenisikan civil society. Dari keduanya lah muncul konsep ”a frsikan see public sphere.” Bahwa masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Senada pula dengan Ernest Gellner (1925-1995) bahwa ruang publik adalah jalan menuju demokratisasi modern.
Defenisi civil society ala Cicero (106-43 SM) hingga Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), tampaknya sudah kuno. Maklum, kala itu ditafsirkan bahwa civil society dianggap bagian yang integrated dengan Negara. Seolah-olah tindakan Negara adalah tindakan rakyat juga.
Memang, barulah sejak Adam Ferguson (1723-1816) dan Thomas Paine (1737-1809) mulai dibedakan antara civil society dan negara dalam posisi diametral, bahkan sebagai anti tesis terhadap Negara.
Toh ada naik turunnya. Hegel (1770-1831) misalnya senada dengan Karl Marx (1818-1883) yang menilai civil society sebagai masyarakat borjuis. Hegel menganggap hanya melalui negara, kepentingan masyarakat bisa terselesaikan. Tapi Marx menganggap Negara sebagai eksekutif kaum borjuis, karena itu harus dihapuskan. Namun Hegel meramalkan masyarakat sipillah yang akan runtuh.
Antonio Gramsci (1891-1937) juga memandang civil society sebagai milik kaum borjuis yang akhirnya menjadi pendukung Negara. Namun Alexis de Tocqueville (1805-1859) melihat bahwa masyarakat sipil tidak a priori subordinatif terhadap Negara. Tapi otonom dan berkemampuan menjadi kekuatan penyeimbang atas intervensi Negara.
Sesungguhnya, terminology civil society selalu bermetamorfosis selaras dengan kehendak zaman. Jika diurumuskan, maka civil society punya tiga ciri. Yakni adanya kemandirian individu dan kelompok masyarakat saat berhadapan dengan negara. Adanya ruang publik bebas sebagai ekspresi politik warga negara dan adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis dan otoriter.
Tapi di Indonesia, DPR malah menginisiasi revisi UU KPK dan Pemerintah kemudian menyetujuinya. Lalu, DPR mengesahkannya. Kita pun teringat teori hegemoninya Gramsci, bahwa DPR seolah-olah merupakan bagian dan pemerintah dan melupakan bahwa “jembatan” mereka menuju gedung DPR di Senayan, Jakarta, adalah masyarakat sipil.
Apalagi merunut narasi Alexis de Tocqueville (1805-1859) bahwa suara masyarakat yang direpresentasikan melalui DPR, mestilah sebagai check and balances atas kebijakan Negara.
Dalam suasana itu, civil society tidak boleh putus asa. Musim Orde Baru ketika suara rakyat masih terpasung sudah lampau. Bersama zaman baru, sesungguhnya ruang publik terbuka untuk menyuarakan ekspresi politik warga negara terhadap pemerintahan yang melayaninya.
Civil society tak boleh beku dan kaku jika DPR belum berkenan mengabulkan keluh kesah masyarakat. Negara ini punya kita bersama. Pemerintah dan DPR hanya diamanahkan untuk mengurusnya. Lagi pula, dalam Negara demokrasi semua kebijakan haruslah berdasarkan kepentingan rakyat.
Pemerintah tampaknya terkepung di antara dua pilihan. Bak kata pepatah, bak memakan buah simalakama. Mendengar suara rakyat, atau menghormati UU yang telah disahkan oleh DPR?
Tapi jika keluh kesah masyarakat sipil dianggap bagai angin lalu, maka definisi tentang civil society itu akan menguap bagai embun pagi. Lalu, sirna.
Alangkah sunyinya sebuah pemerintahan dan DPR di pucuk-pucuk kekuasaan, seraya menutup telinga supaya tidak mendengar suara rakyatnya.