Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bagaimana gerangan Presiden Joko Widodo membagi-bagi kursi menteri? Syahdan, dia pernah mengatakan komposisinya kira-kira 60-40 atau 50-50 antara menteri yang berasal dari partai politik dan kaum profesional dari 34 orang jumlah menteri.
Kita ingat menurut pasal 17 ayat 3 UUD 1945, setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Artinya, para menteri adalah pemimpin (baca: “presiden) eksekutif sehari-hari, sesuai otoritasnya. Presiden bukanlah one man show dalam kabinet presidensial.
Tak heran jika kriteria seorang menteri adalah skill dan kompotensi. Bukan karena jasa dan imbalan politik. Inilah merit system yang membuat kinerja menteri bersifat meritrokratis.
Namun dalam realitas, presiden selalu tergoda untuk mengangkat menteri berdasarkan logika kabinet parlementer. Meskipun mempunyai hak prerogatif, presiden gemar mengakomodasi orang-orang partai pendukung dalam pemilihan presiden. Memang selalu diimbuhi alasan bahwa kader parpol juga ada yang profesional.
Tak pelak, orang-orang partai menjadi primadona. Sudahlah duduk di pemerintahan, wakil-wakilnya juga duduk di DPR. Namun sekaligus juga menimbulkan dilema.
Walaupun orang partai ikut duduk dalam pemerintahan, tidak mewajibkan orang-orang mereka yang di parlemen harus 100% menjadi bemper bagi berbagai kebijakan pemerintah. Menjadi tukang stempel ala Orde baru, tidak lagi zamannya.
Sayang sekali jika potensi anggota parlemen dari koalisi pemerintahan harus menahan diri tidak mengkritik menteri yang berasal dari partainya, atau partai sekoalisi. Padahal anggota DPR mempunyai hak sosial kontrol sebagai check and balances.
Semakin ironis jika tampil sebagai pembela sang menteri manakala ada kritik dari anggota parlemen yang tidak sekoalisi, padahal justru selaras dengan kepentingan masyarakat. Atau kritik dari kalangan pengamat maupun khalayak ramai.
Dilema yang tak seronok itu tidak akan terjadi jika presiden membentuk kabinet kerja. Walaupun harus diakui tidak mudah mewujudkan kabinet presidensial yang murni.
Kita ingat ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden atas dukungan “Poros Tengah” yang menghimpun koalisi sejumlah partai.
Masalah muncul ketika Gus Dur nekat mencopot menteri seperti Hamzah Haz, Wiranto, Laksamana Sukardi, Kwik Kian Gie dan Yusril Ihza Mahendra, yang justru orang partai, minus Wiranto.
Tak ayal, resistensi orang di Senayan muncul, sehingga Gus Dur yang partainya PKB justru minoritas di parlemen semakin sendirian. Akhirnya dia jatuh pada SI MPR 2001 silam.
Secara konstitusional, sebetulnya kritik anggota DPR terhadap pemeritah bukanlah tabu. Tentu saja sepanjang dalam koridor check and balances. Bukan asal kritik yang “membabi buta.”
Biarkanlah DPR menganggap kebijakan eksekutif salah, sebelum fakta menunjukkannya sebagai benar dan lurus. Sikap itu lebih baik daripada DPR menganggap semua kebijakan oke, tetapi fakta menunjukkan sebaliknya.
Saya kira, jika hendak melaksanakan kabinet pesidensial yang murni, pemerintah harus memilih kebijakan yang mementingkan kesejahteraan rakyat. Sudah “gila” DPR sebagai wakil rakyat jika tak menyetujuinya.
Sayang sekali, ide kabinet kerja hanya diterima dalam dunia pemikiran, namun terbentur dalam realitas politik. Apa boleh buat, presiden akan tetap “tersandera” dengan keinginan elit politik meraih jabatan menteri.