Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Program sejuta rumah yang sudah berjalan di periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) diketahui masih memiliki kekurangan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah lokasinya yang jauh dari tempat kerja alias kurang strategis.
Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan, program sejuta rumah atau program penyediaan rumah besar-besaran ini memang masih tergolong baru bagi Indonesia. Sehingga wajar saja kalau masih ditemukan kekurangan dalam pelaksanaannya.
"Ibarat kita membangun kapal tapi sambil berlayar. Tentu banyak hal yang perlu dievaluasi. Dari segi pemerintah maupun dari segi pengembang, maupun dari sisi konsumen," kata dia dihubungi Minggu (6/10/2019).
Meski demikian, bukan berarti kita harus pasrah. Menurutnya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama adalah penyediaan lahan atau landbanking.
Hal ini perlu dilakukan untuk menjawab tantangan yang ada saat ini yakni keterbatasan lahan untuk kawasan perumahan murah di lokasi strategis.
"Ini yang harus dikoordinasikan oleh pemerintah daerah, bagaimana membuat area khusus untuk MBR, tapi harga tanahnya dikontrol," kata dia.
Berikutnya adalah kemudahan perizinan. Selama ini, menurut Eman, masih banyak pemerintah daerah yang belum menjalankan amanat Peraturan Pemerintah (PP) nomor 64-2016 tentang penyediaan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Padahal soal rumah MBR ini adalah hal yang dibutuhkan masyarakat.
Berikutnya adalah memastikan kecukupan anggaran. menurutnya, pemerintah harus memastikan anggaran rumah subsidi lewat fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP)
"Kita berharap penganggaran rumah subsidinya, FLPP yang disediakan oleh pemerintah harus cukup. Jangan seperti sekarang yang mandeg di pertengahan jalan," jelas dia.
Hal ini untuk mencegag kendala kepemilikan rumah. Pasalnya, saat ini banyak rumah subsidi yang telah terbangun dan sudah ada masyarakat yang akan membeli, namun terkendala proses KPR-nya lantaran alokasi dana FLPP dari pemerintah kurang.
"Itu kan cost mereka (pengembang) tetap jalan. Cicilan pengembang ke Bank tetap jalan tapi rumahnya nggak bisa akad kredit. Kan imbasnya bahaya ke pengembang juga," sambungnya.
Terpisah, Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Adri Istambul mengatakan, pemerintah juga perlu melakukan terobosan untuk memastikan bahwa rumah yang dibangun tepat sasaran.
"Jangan sampai rumah yang dibangun itu kosong. Ternyata masyarakat di lokasi itu nggak membutuhkan. Atau ternyata nggak ada akses akhirnya masyarakat nggak berminat. Jadi jangan sampai sejuta rumah ini jangan hanya realisasi terbangunnya saja tapi juga tingkat keterhuniannya," tutur dia.
Untuk memastikan hal tersebut, ia mengusulkan agar dalam menjalankan program penyediaan rumah perlu dilakukan survey perumahan.
"Jadi harus ada surveynya. Jangan kita menjalankan program pakai ilmu 'kayaknya'. Kayaknya di sini butuh, kayaknya di sini ada yang beli. Kalau ada survey perumahan kan kita bisa tahu dengan pasti. Jadi nggak cuma kayaknya," tandas dia. dtc