Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kabinet Jokowi Jilid II sudah dilantik Rabu (23/10) lalu. Syahdan, lima tahun ke depan, pemerintahan akan fokus kepada pembangunan infrastruktur dan investasi. Yang menggembirakan juga akan memprioritaskan Sumber Daya Manusia (SDM).
Memang, jika dipikir-pikir, apalah gunanya infrastruktur yang modern serta banjir investasi asing dan domestik, jika tidak berimplikasi positif terhadap SDM.
Saya terkenang kepada ““Bapak Sosiologi Indonesia” Selo Soemardjan. Alumnus Cornell University (September 1959) yang meninggal dunia 11 Juni 2003, terkenal dengan pemikiran, tatkala negara menyusun program dan kebijakan pembangunan, apakah faktor ekonomi lebih didahulukan ketimbang faktor sosial?
Masalah sosial yang melibatkan SDM memang kerap diabaikan. Sebaliknya, sangat ramah mempertimbangkan faktor ekonomi. Fenomena ini sudah bersemi sejak orde baru.
Ketika Widjojo Nitisastro cs dipercayai Presiden Soeharto menjadi arsitek pembangunan nasional, Selo juga diajak urun rembug. Setelah berdikusi panjang, diputuskanlah bahwa sektor ekonomi menjadi skala pritoritas karena sedang “amburadul.” Inflasi sangat dahsyat yang mengiringi jatuhnya rezim orde lama.
Selo mengalah. Walau ia memberi catatan, janganlah melupakan manusia dan masyarakat sebagai faktor sosial. Namun setelah beberapa dasawarsa, masalah sosial tetap dianaktirikan.
Trilogi pembangunan orde baru: stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, hanya dinikmati segelintir konglomerat Indonesia. Trickle effect down yang dikultuskan tak terbukti.
Tragisnya, semenjak itu, mulai dari era Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan periode pertama pemerintahan Jokowi, Indonesia bagai tak jera-jeranya. Faktor ekonomi makro dan keselamatan APBN selalu menjadi primadona, sehingga program liberalisasi perdagangan, pengurangan subsidi, kenaikan tarif listrik menjadi skala prioritas yang dikultuskan.
Dalam konteks Sumatra Utara, tengoklah pembangunan infrastruktur di destinasi Danau Toba menelan biaya triliunan rupiah. Namun pembangunan SDM di kawasan danau itu – agar mereka ready for use terhadap kedatangan turis asing -- belum tersentuh secara signifikan.
Kota Medan juga akan membangun jalan tol dalam kota, sehinggga kelak harus menggusur pemukim di tepi Sungai Deli dan Babura. Tak pula disertai dengan program relokasi. Bahkan harus membongkar sendiri rumah mereka tanpa ganti rugi.
Saya ingat Selo bersama Kennon Brezeale dalam buku Cultural Change in Rural Indonesia, Impact of Village Develomment” (1993) membeberkan, mengapa gerakan koperasi gagal di Indonesia. Rupanya, penduduk desa melihat hanya orang pemerintah yang sibuk dengan KUD, dan rakyat hanya menjadi penonton. Terbukti, masalah sosial sangat penting.