Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Porsi politikus dan profesional yang duduk sebagai menteri dan ketua lembaga setingkat menteri dalam Kabinet Indonesia Maju itu 17 berbanding 21. Sementara wakil menteri 5 berbanding 7. Wow, ada 22 orang yang berasal dari politikus dan 28 orang yang berlatar profesional.
Saya menelisik ada kekhawatiran para politikus itu akan memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan partai politik yang diwakilinya.
Tapi, ah, saya kira kecemasan itu berlebihan. Lagipula, bukankah seseorang yang menjadi menteri sebetulnya sedang menjalankan tugas politik, karena menteri adalah jabatan politik. Bukan jabatan karier yang berjenjang naik mendaki struktural birokrasi sebagai galibnya PNS atau anggota TNI dan Polri.
Saya kira seorang menteri atau wakil menteri tak perlu ragu-ragu berpolitik di kementerian yang dipimpinnya. Sebab sebagai menteri dia tidak lagi “berpolitik” atau mengabdi kepada massa partai, tetapi kepada seluruh rakyat Indonesia.
Pengabdian dan kinerja seperti itu sama sekali tak bertentangan dan apalagi mengkhianati massa partai dari mana dia berasal. Bahkan bisa menjadi nilai lebih. Siapa tahu, masyarakat yang tadinya bukan anggota partainya tertarik melihat kinerjanya, dan kemudian memilih partai tersebut dalam Pemilu 2024.
Sudah pasti pula politik yang dijalankan tidak mengkhianati presiden yang mengangkatnya sebagai menteri. Presiden pasti senang, karena dia berpolitik demi bangsa dan negara, dan sudah pasti masyarakat juga yang diuntungkan.
Bahwa partainya akan diuntungkan karena kinerjanya, apa sih salahnya? Suksesnya kabinet tentu saja merupakan sukses bersama para partai pendukung. Sah-sah saja jika setiap partai pendukung menikmati akibat politik dari suksesnya program pemerintah tersebut.
Tetapi, berapa porsinya, atau berapa persen suara yang mungkin menaik dan diraih para partai pendukung kelak dalam Pemilu, selalu tergantung kepada penilaian rakyat.
Bahkan, Partai Gerindra yang belakangan bergabung ke koalisi parpol pendukung Jokowi-Ma’ruf terbuka kemungkinan meraih elektabilitas politik. Tentu saja tergantung kepada kinerja Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo sebagai menteri dalam Kabinet Indonesia Maju.
Jadi mengapa harus meragukan menteri yang berlatar belakang politisi? He-he, berpolitik kok salah? Memangnya, politik itu kotor, hanya untuk kepentingan massa partainya saja? Bukankah setiap partai berkewajiban memajukan anak bumiputera tanpa pilih bulu, termasuk terhadap yang bukan massa partainya?
Sebagai seorang menteri tak satu klausul pun dalam job deskripsinya yang membatasi programnya diteruntukkan untuk massa partainya saja. Tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Massa partai oposisi pun berhak menikmati program subsidi pemerintah jika tergolong berhak menerimanya.
Jadi wajar saja menteri yang berasal dari politisi berlomba-lomba untuk menarik hati rakyat dengan membela rakyat. Jika si menteri, misalnya, dengan menyukseskan program subsidi, maka kader partai oposisi pun mengontrol program subsidi agar sampai kepada tangan yang berhak. Alangkah fairnya.
Aktif berpolitik sebagai seorang menteri tak ada hubungan kausalnya dengan pengkhianatan dengan tugas-tugas seorang menteri. Jika dicurigai anggaran dan fasilitas kementerian yang sudah jelas alokasinya dimanfaatkan untuk kepentingan partai si menteri, sudah pasti termasuk abused of power alias korupsi. KPK tinggal menyidik dan kemudian menangkapnya. Jadi, kok, bersikap paranoid dan berlogika pengkor jika seorang menteri berpolitik?
Residu Orba
Jangan-jangan keraguan yang muncul itu adalah residu dari kultur orde baru yang melihat citra politik sebagai kotor. Anggapan itu rupanya masih tebal sampai sekarang, sehingga ketika seseorang aktif berpolitik selalu dipandang dengan mata dipicingkan.
Kita ingat pula Machiavelli yang berkata kepada Raja Medici, seperti tertera dalam buku Il Principe atau Sang Pangeran yang tersohor itu. Machiavelli menimbang bagaimana seorang penguasa bertindak demi kelanggengan kekuasaannya walaupun harus mengorbankan kepentingan rakyat dan moralitas.
Inilah sikap menghalalkan segala cara demi tujuan. Terus terang, bukan menteri seperti itu yang kita harapkan muncul dalam Kabinet Indonesia Maju.
Panggung politik kadang menunjukkan betapa “singa” bertarung head to head dengan “serigala” sehingga harus ada yang kalah. Etika dan fatsoen politik dienyahkan. Padahal mestinya politik harus bermoral. Ada nilai.
Immanuel Kant pernah menyindir dalam setiap insan politik ada kekuatan “ular” sang simbol kelicikan dan ”merpati” simbol ketulusan. Simbol “ular” akan cenderung bersikap pragmatisme mempertahankan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok serta kekuasaan itu sendiri.
Haruslah dilihat apa yang menjadi out put dari proses politik seorang menteri, termasuk juga presiden dan wakil presiden. Bagaimana sikapnya maupun partainya dalam kebijakan yang menyangkut berbagai kepentingan rakyat.
Dari situ akan kelihatan mana pemimpin yang berbuat untuk rakyat atau hanya untuk menikmati dan melanggengkan kekuasaannya saja.
Lord Acton berkata bahwa powers tends to corrupt dan semakin jauh dari aspirasi rakyat.
Ah, jika saya seorang menteri, saya akan terang-terangan berpolitik. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Aduhai, sayang, saya bukan seorang menteri.