Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Hanya 5 menit Anda mencoblos di bilik suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tapi hasilnya, lahirlah presiden dan wakil presiden yang legitimate selama 5 tahun. Termasuk anggota DPR RI dan DPRD provinsi dan kabupaten-kota di seluruh tanah air. Inilah, “tuah” demokrasi. Bukan sulap ala abrakadabra.
Rentetannya bagaikan main domino. Presiden akan memilih dan mengangkat sejumlah menteri. Karena rakyat mencobloslah, presiden terpilih. Dan lalu, para menteri pun diangkat.
Demikianlah hebatnya efek dari kerelaan rakyat mencoblos di bilik suara. Menyoblos bukan kata benda. Tapi kata kerja, yang memproses tampilnya sejumlah pejabat yang prestisius di negeri ini.
Kemudian, pemerintah dan DPR pun berhak menyusun APBN, termasuk APBD – yang juga sudah didahului dengan Pilkada, di mana, lagi-lagi setelah rakyat mencoblos di bilik suara, tampillah para gubernur, bupati dan walikota.
Berbagai anggaran pembangunan demi kesejahteraan masyarakat pun bisa direalisasikan. Roda pembangunan berjalan. Bahkan, termasuk gaji presiden, wakil presiden, para menteri, KDH gubernur-bupati-walikota maupun anggota parlemen dengan suluruh tujangan dan fasilitasnya yang menggiurkan.
Tapi para pembaca, peranan dan dedikasi rakyat belum berhenti. Mereka pun masih membayar pajak. Ada PBB, PPN, pajak penghasilan, pajak korporasi dan lain sebagainya.
Pajak inilah yang kemudian mengisi pundi-pundi APBN dan APBD, yang lantas dipergunakan demi kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Bahkan, utang luarnegeri pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastrukur pun pada akhirnya dibayar oleh rakyat melalui pajak.
Pemerintah dengan segenap aparatur yang khusus tinggal memungut pajak dari masyarakat para wajib pajak. Sangat efisien, dan hasilnya triliunan rupiah.
Alangkah hebatnya fungsi dan peranan rakyat di sebuah negara. Saya tak bisa membayangkan nasib sebuah negara tanpa partisipasi rakyat.
Tapi bagaimana dengan kinerja aparatur pejabat puncak pemerintah dan anggota parlemen? Apaka sudah diimbangi dengan politik “balas budi?” Adakah kepentingan rakyat sudah diperjuangkan?
Misalnya, harga-harga barang terjangkau, daya beli rakyat tinggi, iklim berusaha kondusif, lapangan kerja terbuka, pengangguran semakin sedikit serta pelayanan masyarakat yang optimal.
Nasib orang miskin dan para penganggur pun harus diperjuangkan. Juga penduduk yang berdiam di daerah terpencil dengan fasilitas yang serba belum ada. Belum ada listrik, sekolah dan sebagainya.
Jangan sampai pajak sudah ditunaikan, tapi masih banyak sarana jalan penghubung antardesa atau dari desa ke perkotaan yang masih rusak terkendala.
Seyogianya kisah korupsi tak lagi terdengar. Tak ada lagi kasus persekongkolan antara pejabat negara dan anggota parlemen serta korporasi dalam kaitan proyek pemerintah maupun bidang usaha BUMN dan BUMD.
Tak ada lagi persekongkolan kasus tender proyek, mengkorupsi dana proyek pembangunan. Tak terdengar lagi skandal “lelang jabatan” untuk menduduki posisi tertentu di instansi pemeritahan yang ditentukan oleh uang suap dan bukan karena kinerja dan track record.
Jika masih terjadi, oh, alangkah malangnya negeri ini. Sudahlah mereka dipilih oleh rakyat, bahkan digaji dengan “uang rakyat” tapi masih terdengar “uang rakyat” yang mengalir ke berbagai proyek pemerintah tega dikorupsi. Bak kacang lupa kulitnya. Mendurhakai asal usulnya.