Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Maaf beribu maaf, seorang kandidat kepala daerah yang pantas dipilih adalah yang mempunyai orientasi sebagai pelayan masyarakat. Bukan yang berpotensi besar untuk memerintah seperti tuan besar.
“Jejak-jejak” pelayan itu kelak dapat dilihat seberapa jauh dana APBD yang dialokasikan untuk melayani langsung masyarakat. Kadang kita miris jika pembangunan gedung SD masih kalah dengan bangunan plasa pusat perbelanjaan yang mewah. Padahal SD itu investasi jangka panjang bagi sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa depan.
Plasa memang menyumbang pendapatan daerah. Sementara SD dibiarkan lapuk, seperti bertebaran di seluruh tanah air. Tragis. Bangunan SD macam itu tak terpakai jika hujan turun lebat, dan anak-anak berlibur secara tak resmi.
Ironisnya, perhatian Pemda kepada pasar tradisi pun minim, sehingga makin ditinggalkan pembeli karena tak terawat, tak bersih dan kotor. Padahal, pasar tradisi itu lebih romantis. Ada tawar menawar. Sementara mal, plasa dan mini market kian bertebaran.
Pelayanan Pemda memang selalu dirindukan masyarakat. Pos Yandu kini hanya sekedar tempat imunisasi massal. Mestinya juga untuk pelayanan gizi balita, reproduksi kaum ibu bahkan bisa menjadi forum penampung kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Mungkin karena gratis, kini fungsinya merosot.
Sangat menjengkelkan. Kalau gratis mengapa pelayanannya buruk? Padahal, sebetulnya tidak gratis. Tapi disubsidi pemerintah. Jika pun rakyat tak membayar, sebetulnya telah dibayar melalui APBN atau APBD karena disubsidi. Istilah gratis itu menyesatkan.
Prinsip pelayanan Pemda, termasuk pemerintahan provinsi dan negara adalah tema besar yang harus diemban seorang kandidat walikota, bupati dan gubernur. Sebagai pelayan, kedudukan Pemda berada di bawah rakyat, karena memang rakyat lah yang memilih wali kota. Jangan dibalik.
Apalagi gaji dan fasilitas wali kota dan aparat Pemko dibayar dengan pajak-pajak rakyat. Adil, bukan?
Memang tak mudah mengubah paradigma dari memerintah ke melayani tersebut. Tapi tipe ideal kepala daerah di era reformasi ini mestinya demikian. Misalnya, sudi melakukan “jeput bola” dan langsung mendatangi warga tanpa menunggu mereka harus mengeluh dan bahkan berunjuk rasa.
Saya berpikir mengapa para kepala daerah itu tak menggelar forum warga sekali sebulan dengan tema dan lokasi yang berbeda? Kadang dengan pedagang pasar tradisi dan pedagang kakilima. Kali yang lain dengan sopir dan pemilik angkutan kota dan sebagainya. Termasuk juga dengan kaum buruh, dan berbagai pihak yang selama ini dimarjinalkan.
Jika paradigma pelayan diterapkan di berbagai Pemda, saya terbayang masyarakat akan menghormati Pemda. Akan respek. Memberi partisipasi aktif. Pemda yang demikian adalah idaman rakyat. Tabik!