Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MEDIA cetak itu bermuka dua. Dia mengemban fungsi sebagai lembaga demokrasi keempat, setelah eksekutif, legislatif dan judikatif. Tetap dia juga harus mampu hidup secara ekonomi. Kadang terjadi conflict of interest antara fungsi sosial kontrolnya dan lakon bisnisnya agar tetap eksis. Toh, dua-duanya penting. Memilih satu saja terasa bak makan buah simalakama.
Kawan-kawan di eksekutif, yudikatif, dan legislatif lebih enak. Mereka tak pusing dengan kebutuhan ekonomi karena negara memberi gaji dan berbagai fasilitas.
Produk media adalah barang yang bernama berita. Karena ia dijual ke publik, mau tak mau harus tunduk kepada hukum pasar. Pasar suka maka media pun laku seraya diiringi iklan, dan karyawan pers bisa tersenyum.
Tak pelak, pasar adalah raja. Dan, oh, kadang kejam. Apalagi persaingan makin ketat, dan kian tergusur karena banyak pembaca yang migrasi ke media online. Tapi apakah media harus tunduk kepada pasar dan melupakan idealismenya?
Kita mendengar kritik bahwa media cetak dan elektronik menyukai berita heboh, gosip tokoh dan selebritas, peristiwa berdarah-darah hingga yang horor dan menjual mimpi. Media dipersalahkan, tapi pasar menyukainya.
Sementara, publik tetap menuntut media tetap setia sebagai lembaga demokrasi yang independen. Bisakah bertahan?
Apalagi pers bukanlah lembaga nirlaba. Tetapi justru didirikan oleh perseroan terbatas, yang pasti tetap mengejar profit.
Saya mengerti jika banyak media yang tunduk pada kehendak pasar. Bahkan, media yang serius pun menyiasatinya dengan membuat kontennya, apakah itu ekonomi, hukum dan politik dengan sajian menghibur tanpa kehilangan substansi.
Saya masih terngiang-ngiang adagium pers perjuangan dari era Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Tetapi di era pasar bebas ini, masihkah masyarakat peduli dengan idealisme pers perjuangan?
Saya percaya masih ada yang membutuhkan pers yang independen dan idealis. Tetapi saya khawatir jumlah mereka tidak signifikan untuk menyumbang oplah supaya media bisa menghidupi dirinya sendiri. Begitulah.