Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Mereka bukan salesman parfum. Mereka datang menawarkan sesuatu yang tak biasa, yakni masa depan Kota Medan, atau kabupaten-kota yang ikut dalam Pilkada Serentak 2020. Mereka menyapa publik, “jika saya dipercaya memimpin daerah ini, maka saya akan……” Lalu, serentetan janji pun meluncur.
Adegan itu akan terjadi pada masa kampanye Pilkada 2020. Eh, kini pun meski masih berstatus sebagai bakal calon (balon), sudah sering terjadi temu ramah antara balon kepala daerah dan masyarakat, nyaris di berbagai kota di Sumut.
Antara parfum dan masa depan tentu sangat berbeda. Parfum menambah “pede” saat bernegosiasi bisnis. Namun, bau wangi itu cepat berlalu. Besok kita semprot lagi ke tubuh, walau negosiasi belum tentu berujung dengan transaksi.
Sementara membeli “masa depan” itu tidak konkret. Namun serasa harapan campur baur dengan impian. Bahwa, mungkin besok, urusan di Pemko atau Pemkab tak bertele-tele dan saban meja tak perlu dikucuri duit. Jalan perkotaan, antarkabupaten dan kecamatan mulus, serta panen padi sukses dengan harga jual yang membuat petani tersenyum.
Impian tentu tak sekonkret parfum. Harapan membutuhkan proses untuk menjadi nyata. Tak seketika. Yang sinis dan kritis akan melengos. Ah, dari dulu gombal melulu. Maklum, politik bukan kue yang bisa dimakan.
Demikianlah, “toko politik” atau bahkan “Plasa Politik”, saudara! Produksinya, adalah pada regulasi, metode dan system. Lalu, di-breakdown menjadi program. Sekian waktu kemudian, barulah berbuah.
Kadang, banyak yang salah kaprah pada “salesman politik” itu. Kita mintai mereka benda-benda. Mungkin nasi bungkus. Kaus oblong. Amplop berisi Rp 50.000 atau Rp 100.000? Busyet, itu bukan masa depan! Tapi embun yang segera menguap.
Namun kadang para pencuri hati menjelang Pilkada itu gemar “mendistribusikan” parfum. Bukannya, bagaimana cara membuat parfum, sebuah proses untuk mengukir masa depan.
Pemilih datang ke bilik suara bukan dengan kepala hampa. Kita mengajak anak istri di hari pemilihan, karena kita mempunyai mimpi, hasrat dan harapan.
Alangkah malang sebuah masyarakat yang kehilangan harapan. Masalahnya, siapa di antara para “salesman” itu yang mampu meyakinkan bahwa harapan itu masih ada? Siapa gerangan?