Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Profil petani di Sumatera Utara (Sumut) tidaklah miskin-miskin amat. Bahkan, ternyata 81,6% punya rumah meski luasnya kurang dari 100 M2. Juga punya sawah walau rata-rata di bawah 0,5 hektare (58,7%). Malah ada yang di antara 0,6 hingga 1 hektare sebanyak 28,2%. Di atas dua hektare ada 4,9%.
Mestinya ini modal utama meraih kredit ke bank. Agunan utama mereka adalah diri mereka sendiri, yang secara kultural telah bertani secara turun temurun. Sudah mendarah daging, dan merasuk ke ubun-ubun.
Saya tiba-tiba terkenang Hernando De Soto, ekonom asal Peru itu. Orang miskin menjadi miskin bukan karena tak punya modal. Melainkan karena negara tidak melegalisasi aset-aset mereka. De Soto menganjurkan agar pemerintah mendata ulang aset si miskin dan memberikan mereka sertifikat agar bisa meminjam modal ke bank.
Mereka punya asset, tapi mengapa dibiarkan menjadi dead capital alias modal mati? Begitulah, De Soto menulis dalam buku Mistery of Capital pada 2000 silam.
Tatkala meresmikan Fakultas Pertanian di Bogor pada 1952, Bung Karno memberi judul pidatonya “Soal Hidup atau Mati.” Insipirasi Bung Karno, agaknya, adalah presiden AS Abraham Lincoln pada 1859. “Pertanian membuat kita saling tenang, dan saling bersahabat,” katanya dalam pidato pada 1859.
Satu setengah abad kemudian, terdengar suara bahwa Indonesia harus lepas dari perangkap pangan kapitalisme global. Sebagai negeri agararis, alangkah memalukan jika kita masih impor beras, kedele, gula, pakan ternak dan sebagainya.
Bedanya, Lincoln menerbitkan Homestead Act pada 1862. Tanah negara seluas 65 hektare dijual kepada petani dengan harga murah. Kini di AS masing-masing petani memiliki sekitar 190-200 hektare per orang.
Ironisnya, di Indonesia, muncul Agrarische Wet pada 1870, cikal bakal UU Agraria. Eh, tanah malah diberikan kepada pengusaha berupa HGU dan sebagainya. Ada pula yang menjadi lapangan golf, villa dan sebagainya.
Tak heran jika petani di AS malah kaya raya. Contohnya, Jimmy Carter, yang pernah menjadi presiden ke-39 (1977 – 1981) itu adalah seorang petani kacang.