Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Ketika dulu masih tinggal di daerah, saya sering menyaksikan perayaan Natal di sebuah gereja di desa terpencil. Jemaat perempuan berkebaya sederhana, bersanggul tapi beraroma khas minyak kelapa untuk merapikan rambut. Sandal jepit mereka dihiasi lumpur, maklum, he-he.. sedang musim hujan.
Tapi, hemh, bersama aroma dusun itulah dia mendengarkan khotbah berbahasa sederhana, dengan contoh pengandaian kehidupan dari kegiatan mereka sehari-hari seperti beternak dan bertanam. Jauh berbeda dengan khotbah gereja kota yang banyak menyinggung masalah korupsi, politik, dan kejahatan busuk kaum kota lainnya.
Tepat di depannya, seorang ibu duduk dengan menggendong anak di punggungnya, dengan menggunakan selendang batik kumal. Anak kecil itu kira-kira berumur dua tahun, kurus dan hitam. Dia tertidur pulas di punggung ibunya.
Ketika paduan suara terdengar di akhir misa, barulah dia terbangun. Matanya bulat besar dan dia langsung tertawa mendengar nyanyian itu. Ajaib. Mungkinkah nyanyian itu bagai suara malaikat dalam tidurnya tadi.
Tapi, saya kira, kemarin, juga hari-hari mendatang kita merasakan betapa ajaran kasih sayang dari berbagai agama langit tetap relevan di era globalisasi yang menimbulkan berkecambahnya kaum miskin. Inilah, ajaran kesalehan sosial yang tak pernah padam.
Tapi selalu ada faktor X. Orang-orang lemah tak kuasa bertarung dengan pengusaha kuat, apalagi pengusaha luar negeri yang produknya juga mengalir ke negeri ini. Pendek kata, si lemah selalu kalah dalam persaingan.
Memang, cinta kasih sudah menjelma dalam konstitusi, juga dalam program, seperti KUR dan program pengentasan kemiskinan, namun hasilnya belum terasa signifikan. Kadang dimanfaatkan untuk orasi politik yang menyebalkan, meski segelintir, konon, sudah berhasil.
Akhirulkalam, kita berharap orang-orang yang “kalah” itu harus diberdayakan. Mereka juga berhak berbahagia menyongsong tahun baru 2020 yang sebentar lagi datang.