Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Lonceng berdentang. Bulan bersinar pucat. Angin menderu-deru. Derap-derap kaki kuda terdengar kian dekat. Oi, kereta kencana telah datang, pertanda maut akan menyergap. Kedua kakek-nenek tua renta itu sontak bersujud.
Adegan drama bertajuk “Kereta Kencana” itu tampil di panggung Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, 6-7 November 2009 lalu. Disutradarai oleh Putu Wijaya dengan pelakon, Ikranegara dan Niniek L. Karim.
Pentas itu saya kenang lagi ketika pekerja teater di daerah ini menggelar “Malam Renungan Teater” pada 28-29 Desember 2019 di Lubukpakam, Deliserdang.
Meskipun hanya Henri (Ikranegara) dan istrinya (Niniek L Karim) yang mengisi panggung, tetapi seakan-akan dipenuhi banyak orang. Saya ingat gaya Henri yang menyilahkan tetamunya masuk dan istrinya sibuk mengatur rumah yang berantakan.
Adegan macam ini, oleh Stanilavski, guru drama Rusia itu menamainya dengan metode If. Mengandaikan sesuatu seakan-akan benar-benar terjadi.
Oh, tiba-tiba, terdengar gedoran pintu. Mereka kedatangan Menko Kabinet yang menawari Henri jabatan menteri. “Ah, tidak Paduka, saya hanya punya satu muka, menteri itu kan harus punya 1001 wajah,” kata Henri.
Padahal, di panggung hanya mereka berdua yang ada. Akting keduanya memberi tahu kita seakan-akan ada Menko yang datang.
Kemampuan akting dan ekspresi macam itu yang kini langka. Saya tidak tahu apakah karena itu pentas teater di TBSU umumnya sepi penonton. Lazimnya hanya ditonton oleh kalangan orang teater. Padahal penonton adalah salah satu elemen penting dari pentas teater.
Tentu saja, peran art disain, pencahayaan, kostum hingga musik sangat membangkitkan imajinasi penonton. Disertai dengan manajemen teater yang membuat penonton membludak.
Saya ingat, Henri mohon maaf serta menangis tersedu-sedu. Pentas yang sesungguhnya hanya dihuni oleh Henri dan bininya seolah-olah ramai ditinggalkan para tetamunya.
Tragedi Henri dan bininya itu mirip balada grup teater Medan yang semakin ditinggalkan penonton. Tiket pertunjukan terjual tipis. Tak jarang juga gratis. Padahal latihan sudah berbulan-bulan. Namun hebatnya tetap setia berteater.
Kapan gerangan pentas teater di Medan semeriah pentas Teater KOMA di Jakarta, yang tiketnya sold out (habis terjual) sebelum malam pertunjukan?