Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kemarin saya menulis sebuah dream. Suatu imajinasi tentang kemungkinan adanya sirkuit MotoGP di Pulau Samosir. Kedengarannya muluk-muluk. Tapi apa sih yang tak mungkin di dunia ini.
Tentu saja dibutuhkan para pengimpi yang berfikir out of the box. Yang berpikir tidak apa adanya. Tetapi sesuatu yang tidak biasa, kendatipun harus menimbang bahwa gagasan itu workable, mungkin dilaksanakan.
Duduk perkaranya sederhana. Bagaimana agar wisatawan asing ketagihan berkunjung ke Danau Toba. Tentu saja harus ada ekspektasi (harapan) akan menemukan sesuatu yang “wah.” Yang membuat kepuasan batin tiada tara sehingga selalu dikenang, dan mengundang kerinduan untuk datang lagi berkunjung.
Mengandalkan keindahan Danau Toba saja tidak cukup. Mungkin pertama datang akan berdecak kagum. Datang berikutnya, rasa kagum akan berkurang atau sudah biasa saja, jika tidak hambar. Ingat hukum Gossen tentang gelas pertama yang melepaskan dahaga, tapi gelas kedua dan ketiga menjadi biasa saja.
BACA JUGA: Bermimpi MotoGP di Pulau Samosir
Karena itu harus selalu ada yang merupakan shock of the new. Ada yang mengagetkan karena pesonanya selalu diperbaharui secara berkala.
Untuk itu diperlukan berbagai rekayasa yang kreatif dan inovatif. Misalnya, perairan Danau Toba jangan disia-siakan. Menjadi arena lomba. Arena speed boat. Ada restoran dan penginapan terapung tapi tidak mencemari lingkungan. Naik perahu bagaikan perahu Gondola di Venesia, Italia.
Atraksi kebudayaan harus dikemas eksotik dan memukau. Khasanah kebudayaan di kawasan Danau Toba saya kira terlalu kaya tapi tidak dieksplorasi secara kreatif. Tengoklah Pulau Bali yang kaya dengan beragam sajian pertunjukan kesenian yang memesona para wisatawan asing.
Seniman daerah ini jangan pula berpangku tangan. Revitalisasilah kebudayaan dan kesenian Batak dengan sentuhan artistik modern sehingga menjadi kesenian yang universal. Tidak monoton, dan tempo pertunjukan tak lebih dari satu jam.
Pemerintah tinggal menjadi fasilitator. Motivasilah para pelaku kebudayaan lokal mencuri hati para turis. Termasuk para pengrajin suvenir dan tenun ulos Batak . Jangan lupa memberi peluang kredit lunak bagi mereka, termasuk pengusaha kuliner, tak terkecuali yang hendak mendirikan home stay.
Ulos Batak hendaklah dimodifikasi menjadi kaos, kemeja, gaun, celana dan sebagainya yang dikombinasikan dengan bahan tekstil lain sehingga bisa dipakai para wisatawan. Berpikirlah dari sudut pandang mereka. Logikanya, untuk apa pula mereka memakai ulos, toh mereka bukan orang Batak.
Semua produk selalu diperbaharui pula secara berkala. Modenya diubah, sajiannya diperkaya, variatif, dan dikolaborasikan dengan bentuk-bentuk modern.
Tentu saja yang sifatnya ritus adat dan kebudayaan tetap dipertahankan. Perubahan yang dimaksud, misalnya, menyangkut seni pertunjukan yang profan. Bukan yang sakral.
Sehingga ketika wisatawan datang untuk kesekian kalinya, dia lagi-lagi menikmati sesuatu yang baru dengan pesona yang baru pula.
Tak pelak dibutuhkan para perancang, desainer, konseptor dan pemikir yang gagasannya selalu mengalir. Tengoklah, generasi handphone, televisi, otomotif hingga kuliner pun tidak berhenti pada satu titik. Tapi selalu menyajikan sesuatu yang baru, yang selalu digilai konsumen dari waktu ke waktu.
Dinasbudpar Sumut, para bupati dan kepala SKPD di kawasan Danau Toba harus juga berpikir out of the box. Merangsang masyarakat selalu menciptakan hal-hal baru. Tak cuma berpikir rutin, khas birokrat yang harus direformasi. Anda adalah “tokoh perubahan” sesuai tuntutan zaman. Bukan “tokoh status quo.”