Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Seorang reporter sangat mungkin menjadi pemimpin redaksi di sebuah media. Majalah TEMPO dan Harian KOMPAS telah membuktikannya. Regenerasi pemimpin redaksi telah berkali-kali terjadi di media terkemuka tersebut.Prajurit TNI dan Polri lulusan Akabri pun sangat mungkin menjadi Panglima dan Kapolri. Buktinya pun sudah banyak.
Namun maaf beribu maaf, sirkulasi kepemimpinan macam itu, susah terjadi di kalangan arapatur sipil negara (ASN) di tubuh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Mustahil rasanya ASN yang sudah malang melintang berkarier di tubuh birokrasi bisa menjadi kepala daerah, gubernur, wali kota dan bupati.
Padahal, jangan-jangan dia adalah lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Dia dididik khusus menjadi pamong praja di institusi pemerintahan dalam negeri. Mungkin sudah berkarier pula menjadi camat berkali-kali. Lalu, menjadi kepala bagian atau asisten di Pemda, atau bahkan pernah menjadi kepala SKPD di berbagai dinas. Atau malah pernah menjadi sekretaris daerah (Sekda).
Dia sudah berpengalaman menjadi leader di Pemda. Hanya selangkah lagi menuju jabatan kepala daerah. Artinya, dia sudah teruji kompetensi, skill dan integritasnya.
Satu-satunya jalan bagi dia adalah mengundurkan diri sebagai ASN. Lalu, mencoba mengajukan diri ke partai politik, yang berhak mencalonkan. Memang pengajuan mundur itu adalah pada saat sudah terpilih sebagai calon kepala daerah
Wah, betapa besar pengorbanannya, jika harus mengundurkan diri sebagai ASN. Misalkan dia tak terpilih, maka karier yang ditempuhnya bertahun-tahun, lenyap begitu saja. Sungguh tidak adil.
Mengapa misalnya tidak diajukan persyaratan bahwa dia harus cuti dalam masa pencalonan dan proses pemilihan. Rasanya lebih adil.
Sementara undang-undang memberi peluang bagi siapapun mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Tinggal hanya meraih dukungan partai politik, selain syarat bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan sebagainya.
Tak heran kadang-kadang ada saja calon yang ujuk-ujuk menjadi kandidat. Padahal track recordnya masih dipertanyakan. Pengalaman kerjanya di bidang pemeritahan sangat minim. Bisa saja dia mantan pejabat, pengusaha, politikus, tokoh LSM dan sebagainya. Apalagi jika hanya bermodalkan popularitas, sungguh penuh risiko.
Sayang, mereka adalah aset yang berharga, tapi puncak karirnya mentok di posisi Sekda. Jabatan Kepala Daerah itu demorakratis. Terbuka untuk semua orang. Tetapi bukanlah jabatan coba-coba. Tabik!