Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya tersenyum mengenang debut menjadi jurnalis. Bukan di kota besar macam Kota Medan, tetapi di Kota Sibolga, di pantai barat Sumatra Utara (Sumut). Karena luas kota yang hanya sekitar 3,5 km persegi itu, saya melakukan peliputan dengan berjalan kaki. He-he, dijuluki dengan warjaki alias wartawan berjalan kaki.
Pagi-pagi nongkrong sejenak di kedai kopi. Bertemu teman seprofesi, dan lalu ngobrol ke mana liputan hari itu. Kadang ada acara di kantor wali kota atau bupati. Misalnya, ada pelantikan lurah atau kepala desa. Kadang juga ada anggota DPRD Sumut datang berkunjung.
Usai acara, saya buru-buru menumpang mengetik berita di salah satu kantor pemerintahan. Buru-buru pula mencetak foto hitam putih (afdurk) di studio foto. Kemudian, mengirimkannya melalui titipan kilat, yang berangkat malam ke Medan.
He-he, berita hari itu baru dimuat lusa. Tidak seperti sekarang, yang dengan email bisa terbit esok harinya. Bahkan jika dengan media online, bisa dimuat beberapa menit kemudian, pada hari itu juga.
Tapi kala itu, tak ada istilah berita terlambat, atau basi. Maklum, belum ada email dan media online.
Meskipun koran baru tiba di Sibolga lusa sore, namun terasa bagai pisang goreng yang lagi hangat-hangatnya. Tatkala pelanggan membacanya, alangkah bahagianya. Serasa kita mengajak mereka menyaksikan sendiri peristiwa yang kita liput.
Apalagi jika menulis berita kriminalitas, kebakaran dan bencana alam, orang-orang akan nyeletuk. “Kejam kali, ya,” reaksi mereka. “Aduhai kasihan para korban,” kata yang lain pula.
Pembaca tidak tahu kalau saya berkejaran dengan waktu. Meliput, menulis, mencetak foto dan mengirimkannya melalui titipan kilat. Setidaknya butuh waktu total 2,5 jam.
Jika saya kenang-kenang, betapa merdunya suara mesin ketik dengan melodi taktiktuk taktiktuk. Apalagi belakangan saya berhasil memiliki mesin tik mini portabel. Mana ada komputer saat itu.
Begitulah, saya menjadi warjaki pada kurun 1971 hingga 1979 sebagai wartawan suratkabar terbitan Medan.
Barangkali, kisah-kisah macam itu yang membuat gairah menjadi wartawan semakin menggelegak. Padahal honor berita tak seberapa. Saya ingat honor diukur berapa senti oleh kasir sebuah koran Medan, lalu ditentukan honornya.
Tapi karena saya mengambil honor sekali tiga bulan, lumayan juga. Bisa jugalah meneraktir teman-teman jurnalis di Medan.
Adapun soal biaya hidup, ha-ha, ada saja narasumber yang bersimpati dan berempati. Ada saja rezeki untuk membuat dapur berasap. Kadang sih lumayan juga. Duhai, Tuhan Ora Sere. Tuhan tak pernah tidur. Tak membiarkan hambanya dirundung malang.
Telepon EWP Tambunan
Tak jarang pula saya meliput ke berbagai desa di Tapanuli Tengah. Menemui petani yang menangis karena sawahnya habis digasak hama wereng. Atau para transmigran yang kelaparan kehabisan jatah hidup. Kadang mendengar penderitaan warga yang berumah di tepi sungai yang alurnya menikung sehingga saban banjir rumah mereka rusak, atau dihanyutkan banjir.
Saya ingat setelah berita banjir Sungai Pinangsori yang membuat banyak rumah penduduk hanyut, Bupati Tapanuli Tengah, Lundu Panjaitan memanggil saya. “Bung, Gubernur Sumut EWP Tambunan telah menelepon saya setelah membaca berita Sungai Pinangsori itu,” kata Lundu, suatu hari pada 1978.
“Luar biasa. Pak Gubernur meminta saya untuk membuat proposal proyek untuk pelurusan sungai itu. Terima kasih, Bung,” kata Lundu.
Saya merasa berbahagia. Berita seorang warjaki ternyata bisa membantu menolong penderitaan rakyat.
Saya pernah menulis features tentang “mangalua”alias kawin lari di Tapanuli. Setelah terbit, saya naik sepeda motor ke Pinangsori. He-he, sudah punya “kuda tunggangan” walaupun kenderaan “second.” Tiba-tiba hujan turun, dan saya mampir di sebuah kedai kopi.
Setelah menyeruput kopi, beberapa orang di kedai itu berebut membaca koran tempat saya bekerja. Aduhai, tak dinyana ternyata mereka memperebutkan membaca tulisan saya sehingga koran itu sobek. Tidak tahu jika penulisnya ada di depan mereka. Berjuta bahagia rasanya.
Meskipun kemudian saya bisa menjadi stiringer Majalah TEMPO pada 1979, dan kemudian ditarik ke Medan pada 1983, tapi kenangan menjadi warjaki itu tak pernah lekang. Bahkan akhirnya, saya menjadi Kepala Biro TEMPO Sumut-Aceh pada 1990-1994.
Saya juga melanglang Jakarta menjadi redaktur Majalah GATRA. Lalu Redaktur Eksekutif Majalah GAMMA .dan menjadi Pemred Majalah MEDIUM, namun nostalgia warjaki 50 tahun silam itu tak pernah pudar. Selamat Hari Pers Nasional, 9 Februari 2020. Tabik!