Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tapanuli bisa seperti Bali. Adat istiadat, etnik dan bahasanya homogen. Danau Toba malah lebih molek dari Bali. Masalahnya, kebudayaan Batak tak sekental praktek budaya dan reliji masyarakat Bali.
Bargaining budaya Bali luar biasa. Di “Hari Nyepi” semua kegiatan, termasuk aktifitas pemerintahan sepi. Tidak boleh; bepergian, beraktifitas, berbuat gaduh dan menyalakan api (lampu).
Masih ada hari Raya Galungan setiap 6 bulan sekali (210 hari), yaitu pada hari Budha (Rabu) Kliwon Dungulan untuk merayakan kemenangan kebajikan (dharma) melawan kebatilan (adharma).
Sepuluh hari kemudian, ada pula Hari Raya Kuningan. Pada saat ini, Hyang Widi turun ke dunia diiringi oleh para dewa-dewi dan juga pitara-pitari untuk memberikan karunianya kepada manusia. Masih ada Hari Raya Pagerwesi, Hari Siwaratri, Hari Saraswati, Hari Purnama dan Tilem.
Bagi umat Budha di Bali ada Hari Waisak yang biasanya jatuh pada bulan Mei kalender Masehi. Terkadang jatuh pada akhir bulan April atau awal bulan Juni. Inilah, hari kelahiran Pangeran Sidhartha Gautama, tercapainya penerangan sempurna oleh Pertapa Gautama, dan mangkatnya sang Buddha Gautama.
Masyarakat pemeluk ugamo (agama) Malim, agama tradisi masyarakat Batak juga memiliki penanggalan waktu tersendiri. Mereka yang biasa dipanggil Parmalim (penganut ugamo Malim), saban bulan Maret merayakan hari raya Sipaha Sada.
Inilah, perayaan tahun baru orang Batak. Sipaha Sada juga dirayakan sebagai hari kelahiran Tuhan Simarimbulubosi, salah satu tokoh suci dalam ajaran agama Malim.
Sehari sebelumnya, warga Parmalim menggelar ibadah puasa selama 1 hari 1 malam. Tidak boleh makan dan minum. Ibadah puasa itu ditandai dengan ritus mangan napaet yaitu makan makanan yang pahit. Ritus itu dilakukan di awal dan akhir ibadah puasa.
Biasanya Sipaha Sada digelar warga Parmalim dipusatkan di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Balige, tapi kadang juga di dalam Bale Pasogit (rumah ibadah mereka). Acaranya dirangkai dengan berdoa bersama, mengucap syukur, dan mohon pengampunan kepada Mulajadi Nabolon (Sang Pencipta).
Masih ada pula tradisi Sipaha Lima. Masyarakat Batak Parmalim biasa menyebut upacara ini dengan Parriaan Bolon Sipaha Lima, yang secara harafiah berarti sebuah perayaan besar di bulan kelima. Tentu saja diselai dengan tarian tortor dan iringan gondang.
Sayangnya, perayaan tradisi ini tidak massif di Tanah Batak. Maklum, pengikut Parmalim sangat sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang sudah beragama Kristen, Katolik dan Muslim.
Saya membayangkan Tapanuli bisa seperti Bali. Apalagi jika juga .membangkitkan ritus-ritus budaya seperti Gondang Mandudu dan Mangalahat Horbo, serta berbagai ritus lainnya di berbagai kantong-kantong kebudayaan.
Masyarakat budaya Batak harus sekuat di Bali. Peradaban yang unik dan eksotik itu bisa menjadi magnet bagi wisatawan asing untuk datang berkunjung.
Dalam bahasa insider, memang dilakoni sebagai ritus. Tapi para outsider, khususnya turis asing bisa melihat dari sudut pandang lain, yakni sajian kebudayaan tiada tara.
Di balik ritus yang genuine, khas dan unik – tapi jika dinikmati turis asing – efeknya akan menjadi “industri wisata.” Semoga renainance kebudayaan Batak bisa bangkit, dan mudah-mudahan berefek sosial ekonomi.