Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Talk is cheap," kata Bill Kovach. Inilah jurnalisme talking-talking. Adapun Kovach adalah penulis buku The Elements of Journalism bersama Tom Rosenstiel. Ia berkarier sejak 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, suratkabar terbaik di Amerika Serikat.
Kovach pun pernah menjadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize. Ia menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize.
Oke, mari kembali ke “laptop.” “Jurnalisme ngomong” memang murah. Biayanya sedikit. Ada sumber yang ngomong, lalu menjadi berita. Dia semakin menjadi model wawancara setelah doorstop, sebuah interview yang dilakukan dengan cara mencegat atau menghadang seorang politisi, publik figur atau pejabat semakin populer.
Kelebihan doorstop, wartawan mendapatkan jawaban yang spontan, karena narasumber menjawab pertanyaan tanpa adanya persiapan. He-he, bisa terjadi “salah ngomong” atau reporternya “salah tafsir” karena tak sempat verififikasi oleh waktu wawancara yang singkat.
Jika yang ditanya wartawan adalah tema yang masih ada kaitannya dengan acara yang baru selesai diikuti oleh pejabat, mungkin sang narasumber bisa menjelaskan secara pas. Tapi jika soal lain, apalagi tentang isu yang berkembang di masyarakat – namun sang pejabat belum tahu – bisa terjadi “uncorrect.”
Nah, ketika menjadi berita terjadilah kehebohan. Sang pejabat bisa “kebabakaran jenggot” dan lalu membantah via Humas.
Doorstop memang cara cepat. Tak perlu membangun infrastruktur reportase yang harus menyiapkan pertanyaan secara matang, dan memverifikasi jawaban narasumber. Bahkan melakukan cek and recek, melengkapi dengan bukti primer dan sekunder.
Sebaliknya, wawancara doorstop membuka kemungkinan munculnya berita sensasional dan emosional. Apalagi sangnara sumber “asal bunyi.” Wartawan tentu saja segera menulisnya karena yakin berita itu akan menarik perhatian banyak orang, meskipun hanya jurnalisme talking-talking.
Di sinilah dilemanya. Apakah berita-berita macam itu layak disyiarkan? Tentu saja tergantung kebijakan redaksional media yang bersangkutan. Jika hanya sekadar berita menarik yang dikejar, mungkin akan diberitakan. Apalagi faktanya ada narasumeber yang ngomong.
Namun media yang gemar melakukan verifikasi mungkin akan memfollow-up-nya usai doorstop. Mungkin, menanyai pejabat lapis kedua, atau Humas sekitar sang narasumber yang diduga “asbun” tersebut.
Ada sebuah ilustrasi yang mungkin cocok mungkin juga tidak. Misalnya, seseorang pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Wartawan mungkin akan memberitakannya.
Berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak
orang yang datang untuk mendengarkan.
He-he, pilih mana? Bugil, atau pemain gitar?