Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Kapan ya petani kita meraih informasi bibit unggul terbaru, mengetahui kondisi cuaca harian, bahkan harga berbagai jenis panenan melalui internet?” kata Bargot. “Wah, angan-anganmu hebat,” tanggap Porjan kepada sahabatnya itu saat kedua tokoh fiksi kolom ini ngobrol di sebuah kafe di kota ini.
“Ya, tinggal klik di depan komputer, info yang dicari pun segera nongol,” kata Bargot. “Hehe, itu seraya para petani menyeruput kopi di rumah,” tambah Bargot.
Bahkan, masing-masing bisa mengikuti ceramah para pakar tentang produk pertanian atau peternakan melalui internet. “Luar biasa. Petani menjadi akrab dengan teknologi. Mereka bahkan dapat menentukan apa yang akan ditanam atau di mana hasil panen akan dijual setelah bermain internet," ujar Porjan.
Mereka dekat pula dengan penggunaan teknologi, bahkan hingga pemakaian mesin-mesin besar untuk memanen. Malah memiliki perlengkapan penanda lokasi semacam GPS (global positioning system) yang bisa menuntun jalannya traktor sehingga tidak belok ke lahan orang.
Alat ini sangat penting mengingat tiap petani menggarap rata-rata 1.000 hektar lahan. Dengan ketepatan alat ini, lahan-lahan pertanian terlihat rapi terkotak-kotak dari angkasat. “Itu sudah terjadi di Amerika Serikat,” kata Bargot.
“Tapi di Indonesis itu mustahil,” kata Porjan. “Karena lahan para petani Indonesia tergolong amat kecil. Malah banyak yang bukan pemilik lahan melainkan penggarap,” tambahnya.
Tapi kalau memakai internet masih mungkin. Para petani misalkan sudah melek internet, bisa mengetahui kebutuhan pasar. Mereka menemukan pembeli setelah menjelajahi dunia maya. Apalagi jika di antara mereka membentuk komunitas online sehingga terorganisasi untuk memasarkan produk.
Bargot terbayang petani Indonesia jika sudah melek internet, akan bisa mengakses informasi mengenai hama dan sistem pertanian.
Yang menjadi problem adalah menghadapi penyusutan jumlah petani. “Tren penurunan itu harus diimbangi dengan peningkatan produktivitas,”kata Porjan. Sebetulnya ini bukan khas Indnesia saja. Jumlah petani di Amerika Serikat juga terus menyusut.
Akan tetapi, ada perbedaan antara petani Amerika dengan Indonesia dalam hal produktivitas. Syahdan, satu petani di Amerika memberi makan 235 orang sementara satu petani Indonesia hanya memberikan 3 hingga 4 orang.
Karena itu, Indonesia harus meniru Amerika. Semakin menyusut, tapi produktivitasnya semakin meninggi. Memang, tren penyusutan petani seperti hukum alam. Salah satu penyebabnya adalah penghasilan petani yang cenderung stagnan dibanding profesi-profesi lain.
Menurut Bargot, mengatasi penyusutan jumlah petani, petani Amerika melakukan mekanisasi dan pembuatan bibit unggul. Ini bisa secara drastis meninggikan produktivitas. Riset pertanian mereka memang bisa menemukan bibit terunggul, dan mengaplikasikan teknologi pertanian termutakhir.
Bargot dan Porjan berharap Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo membuat program “petani melek internet.” Selain perluasan lahan petani, juga menargetkan mereka ramah dengan teknologi pertanian. “Ha-ha, tinggal bagaimana mewujudkannya,” tandas Porjan.