Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Menko Polhukam, Mahfud Md bicara soal sumber daya manusia (SDM) unggul, yang menurutnya tak hanya dinilai dari gelar sarjana. Mahfud menyebut SDM unggul adalah yang cerdas dan baik budi.
"SDM unggul itu kalau dalam bahasa akademisnya itu lebih dari sekadar sarjana. Sarjana itu orang hebat, punya ukuran atau kualifikasi keahlian yang terukur ditandai oleh ijazah seperti sarjana S1, sarjana S2, sarjana S3," kata Mahfud dalam acara forum komunikasi dan koordinasi Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) di Hotel Sari Pan Pasific, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Selasa (10/3/2020).
Menyitir ungkapan rektor pertama UGM, Sardjito, Mahfud menyebut SDM unggul tak cukup hanya menjadi sarjana. Tapi harus ditambah dengan sujana, yaitu orang yang berbudi.
"Tapi itu belum tentu unggul. Oleh sebab itu dulu rektor UGM yang pertama, Profesor Sardjito itu mengatakan tak cukup anda menjadi sarjana, tapi jadilah sarjana yang sujana, sarjana yang sujono. Apa itu? Sarjono sing sujono, sarjana yang sujana. Yaitu, orang yang pandai dan baik budi," ujar Mahfud.
Mahfud mengucapkan hal itu karena menurutnya banyak orang yang pandai tapi tak berbudi. Sedangkan orang berbudi tapi bodoh.
"Karena banyak orang pandai tidak baik budi, tapi banyak orang baik budi tapi bodoh, ada," ucap Mahfud disambut tawa hadirin.
Lalu Mahfud menjelaskan apa itu yang dimaksudnya baik budi, yakni cendekia. Mahfud mengajak masyarakat menjadi seorang cendikiawan yang menurutnya beda dengan sarjana.
"Itulah sebabnya, saudara, ndak cukup menjadi sarjana, tetapi harus baik budi. Apa itu baik budi? Cendekia. Bukan menjadi sarjana, kita menjadi cendekiawan, atau intelektual, nah ini beda dengan sarjana," sebut Mahfud.
Mahfud lalu menjelaskan perbedaan cendekiawan dengan seorang sarjana. Cendekiawan, kata Mahfud, memiliki kemuliaan watak.
"Kalau Ali Syariati (sosiolog Iran) ketika mau menulis bukunya tentang sosiologi Islam itu mengatakan beda dong cendikiawan dan sarjana, sarjana itu ada keahlian teknis dan skill yang ditulis di kertas bahwa anda ahli ini-ahli ini dan bisa melakukan itu," ungkapnya.
"Tapi kalau intelektual cendikiawan, anda punya kehebatan skill, keahlian, pemikiran, tapi juga punya kemuliaan watak untuk bertanggung jawab bagi kemajuan bangsa dan negara," sambung Mahfud.
Setelah menjelaskan perbedaan itu, Mahfud menyebut di dalam UUD 1945 bahwa pendidikan di Indonesia dibuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan hanya untuk mencerdasakan otak.
"Itulah yang di dalam konstitusi kita itu disebut pendidikan di Indonesia itu ditujukan untuk untuk mencerdaskan kehidupan, bukan mencerdaskan otak. Coba dilihat Undang-Undang Dasar, mencerdaskan kehidupan bangsa, apa artinya? Artinya otak dan watak," imbuhnya.(dtc)