Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Merebaknya virus corona atau COVID-19 di Wuhan, Cina pada penghujung tahun 2019 dan merambat dengan cepat ke ± 183 negara. Indonesia yang awalnya terkesan percaya diri tinggi dari para dalam menanggapi penyebaran awalnya di Wuhan, ternyata saat ini menjadi salah satu negara dengan angka tertinggi dalam presentase korban jiwa (meninggal dunia) akibat penyebaran virus corona.
Kelemahan antisipasi pemerintah dalam menanggapi wabah, terlihat dengan lebih mendahulukan kepentingan masuknya investasi dan modal untuk memacu perlambatan ekonomi nasional, yang seiring dengan lumpuhnya Cina akibat merebaknya wabah.
Kebijakan terbuka yang tidak menutup segala akses keluar masuk untuk mengantisipasi masuknya wabah ke Indonesia, namun justru membuka lebar jalur keluar masuk wisatawan dengan memberikan diskon dan promo wisata, telah memberikan sumbangsih kegagapan saat ini.
Kepekaan pemerintah sebagai penanggung jawab kehidupan masyarakat seperti dihantui ketakutan menurunnya pendapatan nasional dari sektor pariwisata. Hingga mengeluarkan kebijakan insentif anggaran yang cukup besar kepada para influencer dengan tujuan menggenjot kepercayaan modal di tengah merebaknya penyebaran wabah corona.
Sementara antisipasi dalam bidang kesehatan seperti tidak tersentuh dan tidak dipersiapkan, secara nyata terlihat dari infrastrukur penanganan yang kekurangan, alat pelindung diri tenaga kesehatan yang minim, hingga peralatan yang tidak memadai, akhirnya seperti mengorbankan tenaga medis untuk berperang tanpa bekal persenjataan diruang medis.
Stabilitas putaran ekonomi sosial yang diimpikan, secara tiba – tiba jatuh hingga ketitik yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya, penyebaran virus yang sangat cepat dan berjatuhannya korban jiwa ternyata telah melumpuhkan segala proyeksi ekonomi, sosial dan politik Indonesia.
Wajah Rapuh Kemanusiaan
Corona yang menjadi bencana universal yang menyerang manusia, telah membuka titik kesadaran bagaimana rapuhnya nilai – nilai kemanusiaan yang mengakar dalam sistem kehidupan sosial, ekonomi dan politik bangsa ini dalam menghadapi krisis yang muncul didepan mata.
Rapuhnya nilai kemanusiaan dan gotong royong yang selama ini dinyatakan sebagai kepribadian bangsa Indonesia, terlihat dari dominannya praktek kepentingan individu terutama dengan maraknya praktek penimbunan bahan pokok, hingga alat kesehatan yang bermotif komersialisasi dengan memanfaatkan panic buying yang terjadi.
Secara mendadak, harga dan keberadaan barang yang dibutuhkan, terutama oleh tenaga kesehatan seperti masker, hand sanitizer, anti septic, menjadi sangat mahal dan langka. Namun dalam praktek perdagangan di pasaran dan online di jual dengan harga diluar akal sehat.
Langka dan mahalnya alat kesehatan telah membuat tenaga para medis menjadi korban, ketika menjadi garda terdepan dan yang paling rentan terpapar ketika menghadapi langsung penderita COVID 19.
Kekurangan antiseptic, cairan pembuat disinfektan dan alat perlindungan kesehatan di tengah publik juga terjadi karena begitu banyak pihak yang lebih mengorientasikan profit dengan perdagangan, termasuk langkah eksport alat perlindungan diri tenaga kesehatan diawal ledakan wabah.
Masuknya alat rapid test yang dipesan Pemerintah, justru dikotori keinginan DPR untuk diprioritaskan atau yang terdahulu menjalani rapid test ( test anti bodi ), tanpa menimbang beratnya perjuangan para tenaga medis di garis depan, hingga ODP dan PDP untuk pencegahan, adalah wajah kerapuhan kemanusiaan elit negeri ini.
Bencana Corona ini telah membongkar kerapuhan nilai kemanusiaan sebuah bangsa yang mengaku memiliki kepribadian yang luhur, nilai yang seharusnya menjadi pondasi fundamental dalam sistem kehidupan dan ajaran agama, seperti menguap dalam wajah individualistis dan orientasi keuntungan pribadi serta golongan.
Situasi yang ini semakin diperburuk dengan banyaknya ujaran saling memojokkan hingga bias pertarungan politik, yang terhias di media massa baik televisi, cetak dan sosial. Dengan memanfaatkan wabah yang mengkhawatirkan seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang suku, agama dan ras ini, menjadi senjata politik.
Ketika figur publik dunia baik dari olahragawan, pengusaha, hingga politikus berusaha bersama memberikan yang terbaik dari yang mereka miliki, dengan memberikan sebagian fasilitas, uang hingga asetnya untuk menanggulangi penyebaran wabah.
Di Indonesia yang terlihat justru adalah swadaya dari masyarakat kalangan menengah kebawah yang banyak melakukan inisiatif gerakan pembagian masker, hand sanitezer, hingga penyemprotan disinfektan secara mandiri dilingkungannya, tidak tahu kemana para taipan dan orang – orang kaya Indonesia yang masuk jajaran dunia.
Maka diluar persoalan medis wabah corona, fakta yang terjadi telah membuka fenomena dan membuka mata kita bagaimana rapuhnya kemanusiaan kita, sikap individualitis dan menang sendiri selama ini telah membentuk manusia tanpa nilai kemanusiaan.
Kemanusiaan Lewat Gotong Royong
Menghadapi penyebaran virus corona yang sedemikian masif, tentunya sangat membutuhkan kembali hadirnya nilai kemanusiaan dalam prinsip gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, dengan bentuk kerjasama semua pihak untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya penyebaran virus.
Tanpa kesadaran semua pihak, untuk menahan atau menghentikan laju penyebaran virus ini, maka masa terancam atau darurat akan semakin panjang. Tidak hanya ancaman kesehatan, tetapi akan meruntuhkan sendi ekonomi dan sosial, yang pada akhirnya menggilas semuanya.
Kekhawatiran lahirnya resesi ekonomi sebagai dampak penyebaran COVID-19, terlihat dari penurunan nilai aset investasi yang merosot tajam, penurunan harga saham hingga komoditas yang melebihi 50%. Sampai kebijakan lockdown di sejumlah negara tujuan eksport telah menimbulkan kerugian yang sangat besar.
Di tengah ketidaksiapan dan terbatasnya sumber daya kesehatan, alangkah baiknya mengikuti protokol kesehatan yang telah digariskan, dengan berfikir tidak hanya untuk keselamatan pribadi, tetapi keselamatan keluarga, orang lain hingga bangsa.
Kebijakan social distancing atau bekerja dari rumah untuk menghindari penyebaran virus, seharusnya diiringi dengan kebijakan Pemerintah, Partai Politik dan Pengusaha untuk memberikan insentif bagi sebagian besar rakyat berpenghasilan rendah atau yang bekerja disektor informal, terutama yang bekerja pagi untuk makan sore, sehingga himbauan dapat berjalan efektif.
Sehingga pencegahan meluasnya penyebaran bisa bersifat tindakan promotif preventif, karena dengan jumlah penduduk yang ± 250 juta, tanpa semangat gotong royong yang berlandaskan kemanusiaan untuk saling menjaga, mengawasi dan mengantisipasi dengan tindakan pencegahan, maka akan sulit untuk menghadapi terjangan virus corona saat ini.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
===
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya orisinal, belum pernah dimuat dan tidak akan dimuat di media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPG) dan data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan). Panjang tulisan 5.000-6.000 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]