Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DEMOKRASI dimakan anak kandungnya, dikhianati oleh orang-orang yang dimuliakan lewat proses demokrasi. Diangkat ke jabatan yang tinggi dengan segala keistimewaan melalui demokrasi, namun di saat demokrasi tak lagi memenuhi kepentingan orang yang dimuliakan proses demokrasi, mereka memilih membunuh demokrasi.
Komisioner KPU dinilai melanggar kode etik karena memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Pelanggaran kode etik yang dilakukan, karena memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pada 25 Oktober 2023, sementara revisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023 oleh KPU untuk mengubah persyaratan capres-cawapres baru ditandatangani pada 3 November 2023.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo di Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, pada 24 Januari 2024 menyatakan presiden boleh memihak dan melakukan kampanye selama masa Pemilu, karena presiden merupakan pejabat publik, sekaligus pejabat politik, asalkan, presiden tidak menyalahgunakan fasilitas negara.
BACA JUGA: Pilpres Rasa Indonesia Idol
Jika merujuk Pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terdapat sejumlah pejabat negara yang diperbolehkan melaksanakan kampanye, yaitu: presiden dan wakil presiden, pejabat negara yang berstatus sebagai anggota partai politik (parpol) dan pejabat negara yang bukan berstatus sebagai anggota parpol dapat melakukan kampanye dengan ketentuan, apabila yang bersangkutan sebagai capres atau cawapres dan anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye yang telah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Tetapi semua pejabat negara dan pejabat daerah yang melaksanakan kampanye sesuai dengan Pasal 299 dan 300 UU Pemilu agar memperhatikan tugas dan kewajibannya dalam penyelenggaraan negara atau daerah, yaitu dalam masa cuti yang tidak dalam tanggungan dan dilarang menggunakan fasilitas negara, serta menyerahkan tugas pemerintahan sehari-harinya kepada pejabat sementara.
Dan sudah dapat dipastikan bahwa Presiden Joko Widodo tidak mungkin untuk berada pada posisi capres atau cawapres yang ikut berkontestasi kembali, dan sepertinya tidak terdaftar sebagai anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye yang telah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Membunuh Demokrasi
Peristiwa pelanggaraan etika yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman akibat dari keputusan MK Nomor 90/PUU/XXI/2023 yang membuat Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan Ketua MK melanggar etik berat dan kemudian putusan DKPP pada Senin, 5 Februari 2024 yang menyatakan terjadinya pelanggaran kode etik oleh Komisioner KPU
Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti sifat, watak, adat, kebiasaan dan cara berpikir. Sedangkan ethikos berarti susila, adab atau kelakuan, dan perbuatan, sehingga etika adalah pondasi utama dari berdirinya demokrasi.
BACA JUGA: Analisis Debat Capres Terhadap Presepsi Pemilih pada Pilpres 2024
Etika sejatinya adalah pengikat dan penyangga bangunan untuk menjaga kualitas demokrasi agar tidak terjebak pada penyalahgunaan kekuasan, pelanggaran etika berat kemudian menjadi polemik diruang publik karena dianggap merupakan praktek penyalahgunaan wewenang
Praktik yang didefinisikan sebagai tindakan yang melampaui batas kewenangan yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, atau untuk merugikan pihak lain, dalam Pasal 17 ayat 2 huruf b UU Administrasi Pemerintahan sangat jelas diatur agar tidak mencampuradukan kewenangan.
Seperti polemik pembagian bantuan sosial (bansos) yang dilakukan para menteri dalam kabinet, seperti Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang meminta masyarakat berterima kasih pada Presiden Joko Widodo dan meminta penerima Bansos memilih Gibran Rakabuming Raka dalam konstestasi Pilpres yang merupakan anak Presiden.
Tindakan para menteri ini yang dianggap mencampuradukkan wewenang dengan pernyataan di luar ruang lingkup kewewenangannya, dengan menyimpangkan atau menggeser tujuan yang diamanatkan oleh wewenang jabatannya
Bahkan sebagian pihak menyimpulkan langkah tersebut untuk mengambil simpati masyarakat terhadap salah satu paslon dalam pesta demokrasi dan menjadi aksi kampanye yang menggunakan anggaran Negara
BACA JUGA: Keterwakilan Perempuan dalam Politik Indonesia
Berbagai dugaan penyalahgunaan kewenangan tersebut tentu sangat meresahkan dan merugikan dalam proses pemilu yang seharusnya berlangsung secara demokratis dan berkeadilan, praktik penyalahgunaan kewenangan merupakan bukti nyata pengabaian nilai etika, moralitas dan asas kepatutan.
Termasuk praktik personifikasi dan politisasi bansos yang seolah merupakan jasa dari Presiden Joko Widodo sendiri, padahal pemberian bansos merupakan instrumen di dalam APBN dan yang dibahas bersama seluruh partai politik serta disetujui di DPR dalam bentuk Undang-Undang APBN dengan menggunakan anggaran dari APBN 2024 senilai Rp 496 triliun atau bertambah sekitar Rp 20 triliun dibandingkan 2023.
Pernyataan Presiden Joko Widodo yang memungkinkan pejabat negara serta presiden memihak dan melakukan kampanye selama masa Pemilu, sangat berpotensi menggerakkan struktur negara untuk mengikuti sikap pimpinannya, yaitu presiden, karena memiliki kontrol penuh atas instrumen negara. Jika itu terjadi maka asas pemilu bebas dan adil secara perlahan dan pasti akan sirna dengan sendirinya.
Karena keberpihakan secara nyata, sangat mungkin melahirkan potensi perdagangan pengaruh terhadap para pejabat publik dan birokrat dengan iming-iming jabatan, padahal posisi para pejabat publik dan birokrat memiliki tugas dan fungsi sebagai pelaksana kebijakan, pemegang dan pengelola anggaran maupun sumber daya negara
BACA JUGA: Demokrasi Tanpa Etika
Perlu dipahami bahwa jabatan presiden bukan sekadar jabatan politik, tetapi menurut UUD 1945, melekat sebagai kepala pemerintahan dan kepala Negara yang membawahi jutaan aparat penegak hukum, polisi, tentara, dan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Maka seharusnya presiden selaku kepala negara dan pemerintahan berpijak pada mandat konstitusi yang menghendaki agar pemilu berlangsung secara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
Serta memastikan jajarannya untuk taat pada konstitusi, dengan memberikan keteladanan untuk berbuat adil dan beradab kepada jutaan aparat penegak hukum, polisi, tentara, KPU, Bawaslu dan Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai dalam Undang-Undang Pemilu.
Bahaya Demokrasi tanpa Etika
Tap MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, mengharuskan setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Etika yang diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya dan tercermin dari netralitas pejabat negara dalam berbagai penyelenggaraan negara termasuk dalam pemilu.
Ketiadaan etika tentulah sangat berbahaya karena menimbulkan praktek para politisi, pejabat publik dan penegak hukum yang tidak memiliki rasa malu, walaupun terindikasi terlibat berbagai kasus, dan tetap jumawa dengan alasan praduga tidak bersalah bahkan melakukan gugatan terhadap status hukumnya, tanpa pertanggungjawaban moral dan penyesalan.
Banyaknya praktiek pelanggaran etika bahkan hukum ini kemungkinan besar disebabkan karena keuntungan dari pelanggaran melebihi kerugian yang dialami, atau sederhananya pelaku meyakini hadiah atau keuntungan dari pelanggarannya lebih yang menjanjikan dari pada menjaga etika pribadi dan etika umum.
BACA JUGA: Pemilu Gado-gado
Kalkulasi pragmatis yang sering dihubungkan jika melihat suburnya praktek penyalahgunaan kewenangan dengan vonis hukuman rendah, seperti hanya dihukum teguran keras, penundaan kenaikan jabatan atau demosi, dan cepat atau lambat para pelanggar etika dan hukum dapat berkarir kembali.
Kondisi yang melahirkan demokrasi tanpa nilai, yaitu perilaku politisi dan penyelenggara negara yang jauh dari etika politik, yang sangat mungkin menyuburkan praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme ( KKN ) dan berpontensi pada penguatan oligarkhi yang mengarah pada otoritarianisme yang membunuh demokrasi.
Karakteristik otoritarianisme dapat terlihat dari praktik pemerintahan yang dilaksanakan dengan memusatkan kekuasaan pada satu atau segelintir orang dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaannya. Dengan ciri utama, pluralisme politik yang dibatasi dengan membatasi gerak legislatif, partai politik, dan kelompok kepentingan.
BACA JUGA: Peradaban Politik Indonesia dan Fenomena-fenomena yang Terjadi
Kedua legitimasi politik yang didapat dari dampak emosional dengan mengultuskan penguasa sebagai sosok terbaik yang tidak tergantikan; ketiga tekanan terhadap aktivitas antipenguasa dan pemusatan kekuasaan eksekutif.
===
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]