Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya teringat lukisan Dede Eri Supria, pelukis beraliran realis dan hyperrealis itu. Dia pernah melukis Jalan Thamrin, Jakarta, dengan gedung-gedung megah dan jangkung di kedua sisi jalan protokol di Jakarta. Namun jalanan lengang. Tidak ada arus lalulintas.
Pada mulanya Dede memotret salah satu jalanan Jakarta yang padat lalulintas itu. Lalu, memindahkannya ke atas kanvas. Tapi kemudian dia menghapus lalulalang arus kenderaan yang ramai. Jadilah, sebuah lukisan surealisme, suatu ekspresi Dede menyindir urbanisasi Jakarta yang semakin macet.
Sekarang, di beberapa kota besar dunia yang memberlalukan “lockdown,” lukisan Dede itu kini menjadi kenyataan. Jalanan sunyi senyap. Namun, di beberapa kota besar Indonesia, jalanan sepi, meski reatif masih ada mobil yang melintas.
Demikianlah, wajah perkotaan kita di era pandemi Covid-19. Orang-orang lebih memilih berkurung di rumah, Stay at Home dan Work from Home menjadi gaya hidup baru untuk memutus persebaran virus corona. Berkerumunan di kafe dan pusat perbelanjaan tak lagi menjadi pemandangan.
Kota yang tadinya bagaikan gula dikerubuti semut kehilangan pesonanya. Orang tak lagi menikmati pusat wisata. Sekolah dan kampus sepi. Sebagian ada yang mudik ke kampung halaman karena kehilangan pekerjaan di kota, meski menambah masalah baru di daerah.
Namun ada juga yang terpaksa keluar rumah untuk mencari nafkah. Katakanlah, pedagang di pasar tradisional, ojek online, pedagang kakilima hingga pengendara transportasi online. Mereka tentu saja khawatir berpotensi ditulari wabah corona. Serba salah, bak makan buah simalakama.
Aduhai, saya tiba-tiba rindu Dede Eri Supria kembali menciptakan lukisan baru. Bukan kota besar yang surealis, seperti di masa silam. Tapi sebuah lukisan yang menawarkan harapan, “Indonesia Usai Disambar Corona.”
Saya terbayang, pusat perbelanjaan, hotel, arus pesawat di bandara, jalanan perkotaan ramai lagi (meski ada risiko kemacetan), sekolah, kampus, perkantoran pemerintahan dan dunia usaha kembali berdenyut bergairah.
Mungkinkah? Mengapa tidak! Tapi harus dengan perjuangan yang tidak setengah hati. Berdiam di rumah, sering mencuci tangan, menjaga social dan physical distancing, tidak berjabat tangan dan menjauhi kerumunan. Ini bukan menyuburkan sikap individualisme. Tapi demi kepentingan bersama!