Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya ingat di era orde lama, kata-kata pemimpin terbang dari Jakarta berembus ke desa-desa di kaki gunung. Ke tepi sungai dan pantai. Ke berbagai kota yang tersebar di seluruh nusantara.
Tatkala Bung Karno memekikkan “ganyang Malaysia,” gemanya melintasi kota dan desa. Rakyat mendengarnya bagaikan “komando.” Menghayatinya sebagai misi suci perjuangan bangsa.
Anak-anak sekolah gemar meneriakkannya ketika istirahat jam belajar. Saya malah pernah memekikkannya ketika hendak melompat dari atas batu-batu besar ke sungai yang dalam di masa remaja di kampung halaman.
Gelora yang sama juga dijiwai masyarakat ketika Bung Karno mencanangkan “pembebasan Irian Barat.” Seruannya merasuk ke relung-relung hati dan benak masyarakat se Indonesia.
Bung Karno memang termashur dengan pidato-pidatonya yang memukau. Saban peringatan 17 Agustus dia selalu berpidato bak “teater politik” yang dielu-elukan rakyat.
Soeharto di era orde baru menggantikannya dengan strategi transformasi politik dan perundang-undangan – kadang agak koersif (memaksa) -- melalui birokrasi, parpol, ormas, militer, ulama, tokoh dan media massa. Tapi dia pun kerap berdialog dengan petani seraya tertawa renyah. Gelora pembangunan pun semarak hingga Indonesia pernah dijuluki sebagai “macan Asia.”
Sekarang dalam menghadapi pandemi Covid-19, sesungguhnya kalangan birokrat sipil dan militer, ulama, dunia usaha dan profesional, politikus, intelektual dan berbagai pemimpin informal sudah sederap langkah dalam melawan virus corona.
Sudah banyak pula yang belajar, bekerja dan beribadah di rumah. Mematuhi protokol WHO. Namun masih ada saja yang bekerumunan di berbagai tempat. Bepergian lintaskota dan sebagainya.
Agaknya, tiba masanya pemberlakuan penegakan hukum bagi yang belum mematuhi. Apalagi sudah ada payung hukum berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar dan “Kedaruratan Kesehatan.” Lagi pula tidak adil bagi yang mematuhi protokol WHO, sementara ada yang tidak peduli.
Tentu saja, beberapa waktu dilakukan dulu sosialisasi yang persuasif yang melibatkan media massa dan para pemimpin informal. Kemudian, tiba masanya bertindak tanpa pandang bulu.
Tapi mereka yang terpaksa keluar rumah untuk mencari nafkah, perlu penanganan khusus. Mungkin, adanya insentif semacam jaringan pengamanan sosial.
Ibarat berperang melawan musuh, para pembelot protokol WHO dan kebijakan pemerintah secara tidak sadar telah menjadikan dirinya berpotensi sebagai “agen” Covid-19. Dalam bahasa metafor, “mari kita jitak rambutnya. Tabik!