Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Alkisah, warga Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara gempar. Sabtu malam (25 April 2020), mereka menerima pemberian nasi bungkus bertuliskan 'Nasi Anjing.' Berrlogo kepala anjing dan disertai tulisan 'Nasi Anjing, Nasi Orang Kecil, Bersahabat dengan Nasi Kucing #Jakartatahanbanting'.
Tak pelak, warga melaporkan ke pihak kepolisian. Ternyata, menurut kepolisian, kasus pemberian makanan bertuliskan 'Nasi Anjing' hanya kesalahpahaman saja.
Syukurlah, Minggu (26/4/2020), dilakukan pertemuan antara pihak perwakilan warga Warakas dengan pihak Yayasan Qahal Family. Kedua belah pun menandatangani surat kesepakatan bersama, di antaranya, permasalahan telah selesai dan tidak ada tuntutan lainnya di kemudian hari.
Eh, rupanya, diksi “nasi anjing: dipilih Yayasan Qaha Famili, karena anjing dianggap hewan yang setia. Juga karena porsinya lebih besar sedikit dari nasi kucing. Lauk yang digunakan adalah cumi, sosis sapi, teri, dan lain-lain.
Tentu saja anggapan ini tidak tunggal. Orang boleh saja beranggapan berbeda. Bahwa “nasi anjing” adalah nasi untuk anjing. Padanannya, misalnya, "kandang anjing” adalah tempat anjing.
Ada satu anekdot. Gondang yang larut merantau di Eropa, pulang kampung di wilayah Toba bertemu Gabe, kawan masa kecilnya. Dari jarak empat meteran, Gabe berteriak, maaf, “Anjing-babi, sudah kaya makin tampan pula!” Gondang membalas, dengan kalimat yang sama.
Mungkin, teman dari Jawa akan merasa keduanya akan bergaduh. Ia berdebar menunggu perkelahian segera meletus. Tapi ia kecele, karena ternyata Godang dan Gabe yang setelah saling merapat malah saling tertawa dan berpelukan.
Panggilan “anjing-babi” ternyata bukan perkara berang. Tapi distimulus oleh kedekatan dan rasa rindu, meski bukan sebuah doktrin di etnik Batak. Ini hanya sebuah bahasa pasaran untuk kalangan pribadi yang eksklusif.
Namun, dalam suatu masyarakat yang beragam etnik, agama dan budayanya, pastilah sangat gawat jika terhadap kawan yang setia, lalu dipanggil dengan ucapan “wahai anjing.”
Ada asumsi, ada konteks. Tapi dalam asumsi dan konteks yang beda, teks yang sama bisa berbeda makna.
Sebutlah, kata “buaya” maka akan ada sejumlah komentar. Ada yang bilang “itu jenis reptile.” “Wah, saya teringat lelaki di sana itu bak buaya darat,” kata yang lain.
“Kulitnya bisa menjadi ikat pinggang,” kata seseorang. Seorang pujangga terkenang pula pada ungkapan, “buaya muncul di sangka mati, jangan percaya mulut lelaki, berani sumpah takut mati.”
Bahasa pastilah sulit dibakukan. Apalagi dibekukan. Tinggi tak selalu ukuran meter, bak pada tiang listrik. Apakah gedung Pengadilan Tinggi lebih tinggi dibanding Pengadilan Negeri? Bukan ukuran meter. Tapi hirarki belaka.
Teks mempunyai peluang makna yang tak terbatas. Bukan makna tunggal yang absolut. Antarkita, mungkin, merasa saling memahami hal yang sama, karena asumsi yang sama, dan mungkin sering ngobrol kendati bisa saja kerap terjadi salah sangka dan tafsir dalam berkomunikasi.
Tapi lain lingkup gaulnya bisa lain tafsirnya, baik karena usia, etnik, agama, gender, sosiolgis dan historis dan sebagainya.
Asumsi pun selalu liar. Tidak menetap. Karena tak terelak bahwa selain produser teks ada juga konsumen teks. Konsumen sekaligus menjadi produser karena ia menafsirkan si produser awal yang bisa saja maknanya beda-beda.
Jadi, cerdaslah menggunakan kata. Mungkin di lingkungan internal dan terbatas, seperti kisah Gondang dan Gabe, dalam teriakan “anjing dan babi” adalah ekspresi kedekatan. Tapi di lingkungan yang meluas pekikan itu bisa dianggap menghina.
Harus ada kesadaran kepada ruang dan waktu. Kontek beragam, asumsi pun beragam. Kita tak hidup sendirian di kolong langit ini. Tabik!