Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya
("Cintaku Jauh di Pulau" karya Chairil Anwar)
"Kasihan banget Chairil," tulis Evawani “Iip” Alissa, puteri tunggal penyair Chairil Anwar, saban membaca bait itu. Begitulah, Iip menulis di dalam pengantar buku "Derai-Derai Cemara" (Majalah Sastra Horison pada 28 April 1999).
Padahal ketika Chairil "pergi" pada 28 April 1949 yang kita kenang dua hari lalu, Iip masih berusia 22 bulan. Tapi sajak itu seolah-olah isyarat yang ditujukan Chairil kepada Iip dan ibunya.
Kelebihan Chairil adalah bahasanya yang sangat "aku" yang kini sudah langka. Tenggelam dalam suara massa pendukung parpol, atau oleh serbuan iklan, pidato, keppres, juklak dan petisi. Bahasa "aku" digusur oleh provokasi, agitasi, atau survey dan polling..
Kata-kata dalam sajak Chairil tidak pelik dimengerti, tetapi tidak pasaran. Tidak bersolek parfum, bukan bahasa ganjil yang mengerut jidat, sebaliknya tetap memikat, menghunjam dalam ke relung hati.
Chairil penganut ekonomi sajak. Ia tulis, "Perahu melancar, bulan memancar", langsung pada subyek dan sebutan. Ia tiba-tiba beranjak kepada dirinya dan ole-ole buat si pacar. Mendadak sontak beralih ke deskripsi: "angin membantu, laut terang." Kemudian ia membatin: "tapi terasa aku tidak 'kan sampai padanya." Empat baris pendek, tetapi telah bercerita panjang..
Khas Chairil tanpa mukadimah. Ia cari kata-kata terpilih dan padat. Tak cerewet, tak penuh penjelasan. Tapi tetap metaforik dan imaginatif.
Barangkali, jika Chairil hidup kini, ia tak akan menulis sajak yang menghujat yang berapi-api mengutuk kanan kiri.
Sajak "Aku" yang dibacakannya dengan tinju mengepal, bukanlah sajak politik yang berontak kepada fasis Jepang. Cuma pamit getir kepada ayahnya, Toeloes, yang membujuknya agar mau kembali ke Medan.
Chairil meninggalkan Medan justru ayahnya seorang pegawai negeri, yang hidupnya enak dan teratur, tapi menikah lagi. Ia minggat bersama ibunya ke Jakarta. Sebuah pemberontakan “aku” kepada ayah belaka.
Bila menulis tema politik, Chairil tak agitatif. Di masa Jepang, ia menulis: Kawan, kawan/Kita mengayun pedang ke dunia terang! dan dilarang karena dianggap sebagai ajakan berontak terhadap Jepang.
Atau, Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji/ Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu (Perjanjian dengan Bung Karno, 1948).
Mungkin, kesalahan kita adalah karena menuntut lahirnya angkatan besar, sejenis Angkatan 45. Mengapa tidak realitis dan hanya berharap lahirnya sajak-sajak yang bagus, bermutu, mendalam dan bila membacanya kita semakin memanusia?
Jurgen Habermas berkata, bahwa "sesuatu yang baru akan usang ketika sedetik berlalu datang lagi sesuatu yang baru."
Chairil juga mengalaminya, yang kata Asrul Sani bagai karet busa yang cepat sekali meresap sajak-sajak asing yang dibacanyanya, seperti dalam kasus sajak "Krawang-Bekasi." "Kutu-buku ini tak bisa disebut plagiator," kata Asrul.
Tapi rasa bahasa Chairil sangat luar biasa memberi makna dalam kosakata baru. Ia bebaskan bahasa dari kekuasaan kaum guru dan tetek bengek tata bahasa. Bahasa baginya adalah untuk mengutarakan sesuatu. Ia bengkokkan bahasa demi ekspresi yang padat, mendalam, energetik dan tetap indah.
"Wahyu dan wahyu (istilah Chairil menyebut ilham, pen) ada dua. Tidak setiap yang menggetarkan kalbu, wahyu yang sebenarnya. Kita mesti menimbang, memilih, mengupas dan kadang-kadang sama sekali membuang. Sudah itu baru mengumpul-satukan (Pidato Chairil di depan Angkatan Baru Jakarta, 7 Juli 1948).