Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kebahagiaan mudik seperti tahun-tahun lalu tinggl kenangan. Apalagi tahun lalu di banyak wilayah, jalan tol sudah beroperasi. Mobil meluncur cepat, penumpang enjoy. Pundi-pundi para Aparatur Sipil Negara (ASN) dan karyawan swasta yang memperoleh gaji dan THR pun rada lumayan. Bagi orang-orang kaya, pastilah nyaman. Malah ada yang mampu naik pesawat jet berbiaya sekitar Rp 150 juta hingga Rp 400 juta.
Tapi sekarang, mudik dilarang demi memutus penyebaran pandemi Covid-19 sejak 24 April sampai 7 Mei 2020. Jika melanggar akan diarahkan untuk kembali (putar balik) ke kota asal perjalanan. Bahkan, sejak 7 Mei dapat dikenakan sanksi berupa denda, konon, sampai Rp 100 juta.
Syahdan, ada tipe masyarakat yang mudik karena tidak lagi memiliki penghasilan di kota-kota besar macam Jakarta dan lainnya. Mungkin, karena mereka korban PK, atau dirumahkan dari tempat bekerja. Ada pula yang pendapatannya tergerus karena pandemi Covid-19.
Untuk itu, pemerintah memberikan bantuan sosial, seperti program prakerja, keluarga harapan sembako dan lain-lain. Supaya bertahan di Jakarta, tidak pulang.
Namun ada pula yang mudik karena tradisi, bersilaturrahmi dengan sanak famili di kampung halaman. Di tivi kita lihat bagaimana mereka diminta petugas untuk putar balik ke kota asal.
Saya kira gambaran muram yang dilukiskan banyak cerpen di Indonesia masih terjadi. Khususnya bagi mereka yang sempat mudik sebelum pelarangan 24 April.
Kalau sudah di PHK, padahal hanya karyawan kecil, bagaimana mau hidup di kota besar. Sementara biaya hidup tinggi, belum lagi harus mengontrak rumah. Tiada lain, mudik saja, berkumpul dengan keluarga di kampung mangan ora mangan asal ngumpul.
Memang dalam banyak cerpen Indonesia, mudik Lebaran, seperti dalam karya Umar Kayam (alm) banyak mencerminkan diksi penderitaan. Jarang penuh “kebahagiaan.” Kere-kere, berdesakan di kereta api dengan aroma bau dan apak.
Simaklah, dalam cerpen “Mudik” Putu Wijaya dilukiskan ketegangan psikologis suami isteri ketika berunding, apakah akan mudik atau tidak.
“Saya bukan tak cinta, bukan tak rindu, bukannya sudah murtad dan sama sekali bukan materialistis.” “Tapi mudik tidak hanya berarti ongkos pulang pergi, tapi juga oleh-oleh, basa-basi, dan.......,” kata tokoh cerita.
Ada juga cerpen Mudik karya Mustofa W. Hasyim. Dikisahkan, keluarga Joko gagal mudik karena tak ada uang. Uang simpanan habis karena sebelum bulan puasa Joko sakit tipus dan seorang anak kena demam berdarah.
“Persetan dengan mudik!” teriak Joko. “Tapi, Mas, Mudik adalah lambang keberhasilan kita di rantau.” “Jadi kalau kita tidak mudik berarti kita gagal hidup di rantau?” “Ya, Mas. Kita dianggap ampas, sudah habis,” ujar isterinya.
Barangkali, ada yang harus menggadaikan barang ke pajak gadai. Tak ayal, mudik juga telah menyingkapkan masalah sosial dan ekonomi. Bahkan menyibakkan jurang si kaya dan si miskin
Mudik merupakan cerminan politik, kebudayaan,dan lain-lain. Walaupun sejatinya mudik adalah untuk melipur rindu dan saat bersilaturrahmi dengan handai tolan.