Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya ingat cerpen karya Umar Kayam berjudul “Saya Harus Puang” (Kumpulan cerpen Umar Kayam, Lebaran di Karet, di Karet, (Penerbit Kompas, 2002). Syahdan, Nem adalah seorang yang sudah lelah karena sudah 20 tahun bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Dia ingin berhenti dari pekerjaannya agar bisa mudik ke kampung halaman.
Padahal di dalam hati, Nem sudah membayangkan masa depannya di kampung halaman belum tentu lebih enak. Dia tahu hidup di desa serba kekurangan. Bahkan, cenderung dekat dekat dengan kemelaratan.
Namun panggilan desa terus tergiang-ngiang, sehinga tak heran jika tahun-tahun silam sekitar 20 juta kaum urban yang sebagian hidupnya susah di kota masih rela mudik lebaran.
Sekarang kesusahan itu semakin mendera. Serangan Covid-19 membuat mereka kehilangan pekerjaan. Atau pendapatannya tergerus dahsyat. Jadi, buat apa terus hidup di kota. Tak pelak, sebelum larangan mudik oleh pemerintah pada 24 April lalu, sudah berduyun-duyun orang yang mudik.
Meskipun terbayang kembali ke desa bukanlah jalan keluar. Sawah semakin sedikit, harga bahan pokok melambung, Mungkin, di hari-hari awal kembali ke desa akan mengarukan. Bertemu orangtua, saudara-saudara dan sanak famili. Namun, sesudah itu kembali menghadapi sulitnya mencari rejeki di desa.
Tapi mau bagaimana lagi. Dalam pepatah kontemporer, hujan lembing di negeri orang dan di negeri sendiri, lebih enak di negeri sendiri. Mengapa? Karena “mangan ora mangan” bisa “ngumpul” dengan handai tolan. Kemungkinan para pemudik berpotensi menyebarkan Covid-19 kurang dihiraukan.
Mudik adalah ibarat kerinduan kepada ibu yang melahirkan. Ada suatu magnet yang tak kepalang yang menemukan kebahagiaan batin ketika mudik, walau secara ekonomi mungkin memprihatinkan.
Barangkali, bisa menghibur diri dengan menikmati rebus sayur yang ditanam di halaman disertai cabai giling. Mungkin, terkenang kembali mandi-mandi di sungai bersama teman sebaya.
Di kota besar mana ada kenangan macam itu. Hidup siapa loe siapa gue sedemikian kental. Persaingan hidup begitu tajam pula. Tak ayal, itulah “magic” desa yang tak dipunyai oleh perkotaan.
Tak heran meskipun sudah ada check point, posko pencegatan terhadap orang-orang yang mudik, ada saja yang terus nekad pasca larangan 24 April. Bersembunyi di dalam truk, atau ngumpet di barang-barang yang diangkut truk. Ada pula yang menempuh jalan tikus.
Kaum kelas menengah juga mencoba mudik dengan mobil pribadi. Kita lihat di tivi, banyak yang diperintahkan oleh petugas agar putar arah kembali ke kota. Tentu saja motif mudik kalangan menengah ini lebih karena faktor sosiokultural, kerinduan kepada kampung halaman.
Saya kira kata kuncinya adalah bagaimana pemerintah memastikan jaring pengaman sosial dapat merata kepada warga marjinal di perkotaan. Termasuk terhadap yang sudah telanjur mudik. Mereka bukan tergolong mayarakat yang bertanya “besok apa lagi yang mau dimakan” tapi “apakah besok masih makan atau tidak?”