Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Wow. Badan Anggaran DPR RI mengusulkan kepada pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun. Tujuannya untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari akibat serbuan Covid-19. Padahal pemerintah sudah melakukan realokasi anggaran, termasuk untuk mengatasi wabah itu, dan akibat dampak ekonominya.
Tapi Banggar DPR melihatnya belum cukup. Pertama, karena ancaman terhadap keringnya likuiditas perbankan sebagai akibat menurunnya kegiatan ekonomi, sehingga menurun pula kemampuan debitur membayar kredit.
Kedua membesarnya kebutuhan pembiayaan APBN yang tidak mudah ditopang dari pembiayaan utang melalui skema global bond, maupun pinjaman internasional.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira memprediksi akan terjadi inflasi tinggi jika dilakukan pencetakan. Dia menunjuk Zimbabwe sudah mengalami inflasi hingga 11,250 juta persen Bahkan pernah menyentuh 231 juta persen pada 2008.
Akibat itu, tingkat pengangguran di sana mencapai 80-94%. Banyak pabrik-pabrik yang tutup. Suplai makanan juga langka. Banyak pekerja yang tak merasakan dampak dari gajinya karena harga-harga sangat tinggi akibat stok barang di toko-toko sangat langka.
Bank Indonesia (BI) pun menolak mentah-mentah usulan tersebut. Jika pencetakan uang untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat bukanlah hal yang lazim dalam kebijakan moneter. “Mohon maaf nih, supaya masyarakat tidak tambah bingung," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam video conference, Rabu (6/5/2020
Perry menjelaskan saat ini jenis uang terdiri dari uang kartal dan giral. Uang kartal merupakan uang kertas dan logam yang ada di dompet masyarakat. Sedangkan uang giral uang yang berada di sistem perbankan seperti di dalam rekening giro, deposito, rekening bank dan saat ini juga ada uang elektronik.
Pengedaran selalu dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dan selalu ada dalam sistem keuangan baik penarikan maupun penyetoran.
Misalnya jika masyarakat membutuhkan uang maka dilakukan penarikan dari rekening bank, jika berlebih disetorkan ke bank. Jika bank berlebih maka akan disetor ke BI. Inilah yang disebut proses pengedaran uang.
"Nggak ada pengedaran uang di luar ini. Eh BI cetak uang saja terus kasih ke masyarakat. Ya ora ono kuwi, nggak ada itu,” jelas dia. Mungkin, maksud Perry, adalah untuk dana bansos atau BLT.
Berbalas Pantun
Namun Ketua Badan Anggaran MH Said Abdullah mengatakan, jika mencetak uang Rp 600 triliun, maka inflasinya diperkirakan 5-6%. “Masa Rp 600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70% dari mana hitungannya," katanya kepada detikcom, Minggu (3/5/2020).
Dia mengatakan, kondisi saat ini ialah kegentingan yang memaksa. Menurutnya, perlu peran BI untuk membantu pemerintah dalam mengatasi dampak Corona. "Kita mengimbau BI ya 2,5% dong bunganya ini namanya sharing the pain," imbuhnya.
"Kalau nyetak uang Rp 600 triliun, kalau kemudian banjir inflasi terlalu tinggi, kan tinggal menaikkan GWM lakukan lagi tahun depan pengetatan," tutupnya.
Dia meminta BI berhenti lah bersifat kekanak-kanakan. “Nggak ada orang suruh mencetak uang kemudian uangnya dibagi-bagikan ke rakyat,” katanya kepada detikcom, Kamis (7/5/2020).
Dia pun menyoroti peran BI yang dinilai belum berbuat apa-apa untuk penanganan dampak COVID-19. "Pemerintah telah melakukan bagiannya memberikan stimulus Rp 34 triliun untuk UMKM membantu bunganya 6%. Pertanyaan saya, apa yang dilakukan BI?" tanyanya.
Walaupun Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah sudah turun 200 basis poin (bps), di saat yang sama Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dinaikkan 200 bps. Itu, artinya, BI mencekik perbankan.
Jika BI tak mau cetak uang, Said bilang, setidaknya BI harus menurunkan suku bunga 2% agar perekonomian Indonesia bisa segera pulih.
Namun mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri menilai ada risiko BI mencetak uang besar-besaran jika yang menggunakan itu hanya di lokal.
“Aktivitas ekonominya nggak berjalan, Anda tambah money supply sementara produksinya nggak ada, maka risikonya inflasi naik," kata dia dalam diskusi virtual di YouTube, Jumat (8/5/2020).
Inflasi tersebut dipicu karena jumlah uang beredar lebih banyak daripada kebutuhannya. Masalah supply-demand tersebut membuat nilai rupiah mengecil. Jangan lupa bahwa produksi juga mengalami penurunan,” jelas Menkeu periode 2013-2014 itu.
Prokontra ini benar-benar hangat. Bagaimana kesudahannya, mari terus kita ikuti. Tabik!