Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya ingat Ketua Umum Dewan mahasiswa UI, Rama Pratama, memimpin demonstrasi mahasiswa menuntut Presiden Soeharto lengser. Mereka kepung gedung DPR-MPR. Tak ayal para wakil rakyat tak bisa melaksanakan Sidang Istimewa di Senayan untuk menjatuhkan Soeharto.
Tiada lain Soeharto mengumumkan dirinya mundur sebagai presiden pada 21 Mei. Dia menempuh cara itu, karena melihat situasi sosial politik tanah air yang tak mengendaki dirinya lagi sebagai presiden. Luar biasa, inilah demonstrasi yang sangat gemilang.
Hari-hari di bulan Mei ini kita kenang lagi sukses besar demonstrasi 22 tahun silam itu. Namun jika kita melakukan refleksi, apakah di masa ini, demonstrasi semacam itu masih relevan ditempuh sebagai gelanggang perjuangan menuntut keadilan dan kebenaran?
Tentu saja di masa pendemi Covid-19 ini tak elok mengusung demonstrasi yang mengerahkan banyak massa, sehingga menimbulkan kerumunan orang. Tapi, bagaimana kelak setelah Covid-19 sirna?
Tak bermaksud mengekang hak demokrasi, menyatakan pendapat di depan umum, rasa-rasanya demonstrasi di lapangan sudah kuno. Tak sejalan dengan perkembangan zaman.
Saya merasa demonstrasi lebih efektif jika dilakukan melalui dunia maya. Melalui teknologi informasi. Tak perlu harus melalui demonstrasi besar, seperti yang terjadi pada awal orde baru, 1966, maupun awal orde reformasi 1998.
Kita ingat perlawanan angkatan 1966 mengorbankan mahasiswa Arief Rahman Hakim dan wartawan Harian KAMI, Zainal Zakse. Angkatan 1998 mengorbankan jiwa sejumlah mahasiswa baik dalam Tragedi Trisakti maupun Jembatan Semanggi.
Bahkan juga diikuti oleh huruhara penjarahan yang mencoreng wajah republik, dan ratusan orang yang hangus terpanggang di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta.
Tiananmen
Tampaknya aksi melalui teknologi informasi menjadi pilihan cerdas. Cara ini pun lebih kreatif. Orang punya waktu untuk memikirkan aksinya sebelum mengoret-oretnya di internet atau facebook.
Beda dengan demonstrasi di lapangan yang sangat pisikal. Tak mustahil pula terpancing berbagai provokasi ketika akal sehat cenderung menurun di tengah-tengah lautan manusia yang berjibun.
Tidak ada lagi long march di lapangan. Naik bus ramai-ramai seraya berorasi dengan kibaran bendera berbagai kelompok. Apalagi dimeriahkan dengan pembakaran ban, tampaknya lebih menarik.
Demontrasi di lapangan memang lebih gagah perkasa. Bisa memunculkan tokoh yang heroik. Tak mustahil merupakan bargaining dengan kekuasaan dan sejarah.
Tokoh Angkatan 1966 dan 1998, terbukti kemudian masuk ke panggung kekuasaan, baik di eksekutif, legislatif atau berbagai lembaga publik. Seorang teman bercanda, inilah selebritis politik yang dihasilkan demonstrasi.
Namun kita ingin mengevaluasi demonstrasi massa yang dapat menelan korban jiwa. Belum lagi rasa aman yang terusik, jalanan macet, dan tak mustahil menggejala dan berpengaruh ke moneter, dan ekonomi pada umumnya.
Inilah yang kita gugat seraya menawarkan aksi baru melalui dunia maya tanpa aksi-aksi yang dramatis di lapangan.
Misalkan, gerakan mahasiswa Cina di lapangan Tianamen Beijing pada musim semi 1989 silam tidak bertahan, tetapi kembali ke kampus, barangkali gerakan mereka akan mengubah China lebih cepat.
Dengan sejuta simpatisan di lapangan, dan mereka segera kembali ke kampus, agaknya gerakan mereka sangat fenomenal, apalagi seluruh dunia juga mendukung.
Tapi mereka ngotot memilih heroisme, bahkan ketika pemerintah mengumumkan kedaan darurat. Korban-korban pun berjatuhan.
Tentu saja jarum jam sejarah tak bisa surut ke belakang. Tapi setidaknya berbagai referensi di masa lalu itu mendorong kita melakukan evaluasi.
Good bye aksi-aksi di lapangan. Mari kita gunakan aksi dan perlawanan melalui dunia maya. Lebih asyik, kreatif, lucu, dan hasilnya lebih maksimal tanpa jatuh korban.