Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Duhai, Achmad Yurianto menjelaskan dengan bahasa sederhana. Juru Bicara Pemerintah Penanggulangan Covid-19 itu tampil sudah puluhan kali di depan televisi. Kata-katanya komunikatif. Maknanya tunggal dan tidak mutiftafsir. Bahwa masyarakat harus peduli dengan serbuan virus corona yang berbahaya itu.
Jika diibaratkan teater, maka Yurianto berupaya memainkan teater dramatik ala Aristoteles. Dia berikhtiar menciptakan tujuan tragedi, yakni katarsis (penyucian jiwa). Bahkan menciptakan rasa iba atau tragis yang mengalir dari penjelasannya, seolah-olah para penonton (masyarakat) mengalaminya. Bahkan, bagai melihat wajahnya dalam penjelasan Yurianto.
Tapi bisa juga Yurianto bagaikan memainkan teater epik yang digagas oleh Bertold Brecht dan bertujuan agar penonton sadar tentang kondisi kehidupan di sekelilingnya. Empati, atau keterlibatan emosional penonton (pendengar) terhadap pertunjukan (penjelasan) dihindarkan. Tapi justeru disadarkan bahwa yang ditonton (didengar) adalah fakta-fakta di sekeliling kita.
Bagi Brecht, penonton (pendengar dalam hal pejelasan Yurianto) harus menjaga jarak dengan informasi Yurianto. Kemudian bisa menilai secara kritis berbagai konflik (informasi) yang tersaji dalam hal ini, ya, penjelasan Yurianto.
Demikianlah, Brecht menolak teater tragedi ala Aristoteles. Menurut Brecht, tujuan utama pertunjukan teater bukanlah menumbuhkan katarsis, tapi menyadarkan orang-orang tentang kondisi sosial masyarakat tempat mereka hidup yang dapat diubah dan berubah.
Hidup manusia, situasi dan kondisi sosial-ekonomi yang melingkupinya, bukanlah sesuatu yang sudah dari “sono”-nya demikian. Tapi merupakan suatu konstruksi, dalam hal Covid-19 yang merupakan penularan wabah antarmanusia, dan karena itu kalau manusia mau, manusia dapat mencegahnya.
Sayangnya, “teater Yurianto” belum 100 persen manjur menyadarkan masyarakat. Terbukti penambahan mereka yang terjangkit positif corona masih berfluktuasi di antara 500-an orang hingga 900-an orang.
Yurianto hanyalah menyeru agar kita melaksanakan protokol kesehatan untuk memutus mata Covid-19. Terserah masyarakatlah untuk memilih “hidup atau mati.” Ajal memang berada di tangan Tuhan. Tapi manusia wajib berusaha. Jangan cuek-bebek, dong!